Senin, 07 Februari 2011

Aplikasi Konsep HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) di Industri

Oleh : Moh. Taufik
Ilmu dan Teknologi Pangan IPB

Indonesia sebagai negara berkembang yang ditandai dengan timbulnya industri skala kecil menengah. Industri tersebut cenderung lebih fokus pada “keuntungan maksimal” dan kurang memperhatikan aspek keselamatan para konsumennya. Hal ini bisa kita lihat terjadinya kasus-kasus keracunan makanan seperti yang terjadi pada murid kelas 5 SDN 44 Kalumbuak yang bernama Kumala sari, yang terbaring lemah di RSUD Sungai Sapiah, akibat mengkonsumsi sosis yang dibelinya dari rekan sekolahnya. Dari data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) tentang kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan tahun 2001-2006 menunjukkan peningkatan, baik dari jumlah kejadian maupun korban sakit dan meninggal dunia. Sepanjang tahun 2006 dilaporkan jumlah KLB mencapai 26 kasus dengan 11.745 orang yang mengkonsumsi makanan dan 4.235 orang jatuh sakit serta 10 meninggal dunia.

Menurut Winarno yang pernah menjabat sebagai Ketua Codex Alimentarius lembaga standarisasi keamanan produk pangan dunia dan pernah menjadi dosen di ilmu dan teknologi pangan IPB mengatakan bahwa "Kasus keracunan makanan terbesar atau sekitar 90 persen terjadi akibat kontaminasi makanan dari mikroba, dan sisanya keracunan lainnya yang diantaranya kurang dari satu persen akibat BTP". Dari data-data tersebut menunjukkan buruknya sistem pengolahan di industri.

Sebenarnya, pemerintah Indonesia mempunyai Undang-undang yang mengatur tentang keamana pangan yaitu undang-undang No.7 tahun 1996 Bab II pasal 4 dan pasal 5 dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa “Pemerintah menetapkan persyaratan sanitasi dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan” sehingga seharusnya industri makanan di Indonesia menerapkan konsep HACCP mulai dari proses produksi bahan baku sampai produknya ketangan konsumen.

Pemerintah melalui Badan POM RI menerapkan konsep pengawasan keamanan yaitu pengawasan keamanan pangan secara total (total food safety control). Hal ini mutlak dilakukan karena masalah keamanan pangan dapat terjadi di mana saja dari mulai pangan dibudidayakan hingga siap dikonsumsi. Dengan demikian perlu kerja sama yang erat antara pihak-pihak yang terkait dengan keamanan pangan. Selain peran instansi pemerintah, peran industri dan konsumen tidak kalah pentingnya, karena meningkatkan keamanan pangan adalah tugas dan tanggung jawab bersama. Konsep total food safety control dituangkan dalam Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT). SKPT adalah forum kerja sama antarinstansi terkait untuk memantapkan program keamanan pangan di Indonesia. Lembaga-lembaga (stakeholders) yang terkait dalam sistem ini adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pendidikan Nasional, Badan Standarisasi Nasional, Pemerintah Daerah, universitas-universitas, lembaga-lembaga penelitian, laboratorium pemerintah dan swasta, asosiasi industri dan perdagangan, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lain-lain.

Sistem keamanan pangan terpadu terdiri dari tiga jejaring, yaitu:

1. Jejaring Intelijen Pangan - berdasarkan kajian risiko dengan sekretariat
Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Deputi III, Badan POM RI.

2. Jejaring Pengawasan Pangan - berdasarkan manajemen risiko dengan sekretariat Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, Deputi III, Badan POM RI.

3. Jejaring Promosi Keamanan Pangan - berdasarkan komunikasi risiko dengan sekretariat Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Deputi III, Badan POM RI Pihak-pihak terkait sesuai dengan tugas dan bidangnya mengelompokkan diri ke dalam tiga jejaring di atas dan bersinergi satu sama lain untuk meningkatkan dan mengoptimalkan kegiatan yang berkaitan dengan analisis risiko di atas.

Dalam industri dikenal konsep HACCP yang seharusnya diterapkan untuk menjaga kualitas produk yang dihasilkan. HACCP merupakan suatu sistem dalam pengolahan makanan yang mengidentifikasi bahaya spesifik yang mungkin timbul dan cara pencegahannya untuk mengendalikan bahaya tersebut (Lestari, 2008). Sedangkan menurut Bukhori (2008), HACCP merupakan sistem manajemen keamanan pangan, yaitu sebuah upaya untuk mengelola pangan dengan jalan mengurangi resiko kontaminasi mulai dari pemanenan, proses produksi hingga penyajian agar produk aman dikonsumsi. HACCP berawal dari pengembangan pangan untuk program antariksa pada Badan Badan Antariksa Amerika atau NASA pada tahun 1968 dan Indonesia mulai menerapkan pada tahun 1998 dengan nama Standar Nasional Indonesia dengan nomor SNI 01−4852−1998 tapi hingga kini Indonesia belum mewajibkan sistem HACCP ini pada semua level industri pangan. Adapun tujuan umum diterapkannya HACCP di industri yaitu untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui makanan (“Food borne disease”). Dengan diterapakan konsep HACCP ini diharapkan terjadinya peningkatkan jaminan food safety dan penurunan kasus keracunan karena pengolahan makanan yang tidak tepat.

Dasar−Dasar Penerapan HACCP

Untuk dapat menerapkan sistem analisa bahaya dan pengontrolan titik−titik kritis atau yang lebih dikenal dengan HACCP maka penyelenggara usaha makanan dan minuman harus memahami dasar−dasar lahirnya sistem HACCP tersebut. Terdapat 7 pilar yang membangun lahirnya sistem HACCP, antara lain;

1. Identifikasi Potensi Bahaya

Terdapat tiga potensi bahaya yang perlu dikenali yaitu bahaya fisika, kimia dan mikrobiologi.
Bahaya fisika berupa benda asing, kerikil, besi, jarum, peniti dll.
Bahaya kimia berupa; racun, bahan tambahan pangan yang tidak dianjurkan (formalin, metanil yellow, Rhodamin B dll)
Bahaya mikrobiologi berupa bakteri patogen (bakteri penyebab penyakit bagi manusia)

2. Tentukan Titik Kendali Kritis (CCP)

Titik Kendali kritis atau Critical Control Point (CCP) merupakan tahapan dalan rangkaian proses penyelenggaraan makanan yang harus dikontrol. Tahapan kritis ini harus diketahui dan dikontrol agar tidak terjadi kontaminasi pada pangan yang hendak diproduksi. Jadi CCP ini berhubungan dengan keamanan pangan.

3. Tentukan Batas−batas Kritis

Batas kritis (critical limit) adalah batas maksimum atau minimum dari setiap CCP atau merupakan toleransi yang harus dipenuhi agar menjamin CCP efektif dalam mengendalikan bahaya fisika, kimia dan biologi

4. Pembuatan Sistem Pemantauan

Adanya sistem pemantauan ini memungkinan seorang penyelenggara makanan minuman untuk memastikan bahwa pelaksanaan sistem HACCP tetap berjalan atau berhenti. Sistem pemantauan ini memuat tata cara dan langkah−langkah penting dalam menjaga konsistensi hasil sistem HACCP. Selanjutnya sistem Pemantauan ini disebut dengan SOP (Standart Operational Prosedure)

5. Pembuatan Prosedur Tindakan Koreksi

Terjadinya deviasi (tidak sesuai dengan rancangan produksi) merupakan hal mungkin terjadi di lapangan, maka perlu ada prosedur tindakan koreksi. Prosedur Tindakan Koreksi ini berisikan langkah−langkah atau tindakan−tindakan yang harus dilakukan pada saat hasil pemantauan menunjukan adanya penyimpangan yang tak terkendali dari hasil yang diharapkan.

6. Pembuatan Prosedur Verifikasi

Setelah Prinsip kelima dibuat berikutnya perlu dibuat pedoman atau ckeck list untuk memastikan sistem HACCP berjalan dengan benar

7. Pembuatan Dokumentasi dan Pencatatan

Setiap penyelenggaraan makanan dan minuman mesti mendomukentasikan dan membuat catatan terhadap segala kejadian yang berkaitan dengan sistem HACCP. Meskipun nampak sederhana bagian ketujuh merupakan bagian yang cukup sulit diantara prinsip yang lain

Daftar Pustaka
http://vm.cfsan.fda.gov
http://web.ipb.ac.id
http://www.bsn.or.id/kan
http://www.tempointeraktif.com
http://www.gizi.net
http://www.antara.co.id
http://www.lily.staff.ugm.ac.id

Tidak ada komentar: