Minggu, 06 November 2011

Memalukan! Indonesia negara terkorup ke-empat di dunia

JAKARTA (Arrahmah.com) - Sungguh memalukan! Meskipun mengaku sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, nyatanya berdasarkan survey Bribe Payer Index (BPI) 2011 Transparency International, yang dilakukan terhadap 28 negara, menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara ke empat terkorup di dunia.


Survei BPI dilakukan terhadap 28 negara, yang secara kumulatif berperan signifikan terhadap perekonomian dunia, dengan total rasio foreign direct investment (FDI) dan ekspor global sebesar 78%.

Kepala Departement Economic Government Transparency International Indonesia (TII), Frenky Simanjuntak mengatakan negara yang terpilih untuk disurvei BPI 2011 ditentukan berdasar empat kriteria. Keterbukaan perdagangan, yang diukur dengan arus keluar FDI ditambah ekspor, komparabilitas data, lalu status keanggotaan G20 serta signifikansi perdagangan.

“BPI 2011 memotret praktek suap yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap penyelenggara negara di luar negara domisili kelompok bisnis tersebut,” katanya.

Responden dari survei ini adalah pelaku bisnis dari 28 negara terpilih. Para responden tersebut diminta untuk memberikan penilaian tentang seberapa sering mereka melakukan suap, di negara-negara dimana responden tersebut memiliki hubungan bisnis.

Rentang penilaian bernilai 0 hingga 10. Negara yang mencetak nilai maksimum 10 berarti bahwa perusahaan-perusahaan dari negara tersebut tidak pernah melakukan suap, sebaliknya jika negara tersebut mencetak nilai 0 berarti perusahaan dari negara tersebut selalu selalu melakukan suap.

Indonesia pada tahun 2011 memiliki BPI sebesar 7.1 (dari rata-rata 7.8). Indeks ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-25 dari 28 negara, atau dengan kata lain Indonesia negara dengan kasus suap paling banyak ke empat.

Negara dengan indeks terendah dalam BPI 2011 adalah Rusia (6,1) dan Cina (6,5). Indonesia sendiri ada pada urutan keempat terbawah dengan skor 7,1, dibawah Meksiko (7,0).

Selain melaporkan frekuensi dinegara yang di survei, BPI juga melaporkan praktik suap yang terjadi pada beberapa sektor usaha tertentu. Praktik suap yang dilakukan oleh pengusaha paling banyak dilakukan di sektor-sektor pekerjaan umum dan konstruksi dengan skor sebesar 5.3 (dari rata-rata 6.6).

“Berdasarkan Global Competitiveness Report 2011-2012, korupsi dilaporkan menjadi faktor yang paling menghambat penyelenggaraan bisnis di Indonesia,” tambahnya.

Korupsi memiliki nilai sebesar 15,4 pada tahun 2011. Nilai tersebut naik sebesar 11,2 poin dari tahun 2007 yang hanya sebesar 4,2. Kenaikan tersebut menempatkan korupsi pada peringkat paling buruk dari 14 faktor yang paling menghambat bisnis di Indonesia.

Jika hukuman tak sepadan dan ringan terus divoniskan kepada para koruptor, tentu saja kasus korupsi akan terus meningkat di Indonesia. Bukan tak mungkin suatu saat nanti, Indonesia menjadi negara paling korup di dunia. Sungguh memalukan! (tbn/arrahmah.com

Jumat, 04 November 2011

Bupati-Wali Kota Bisa Diberhentikan Jika Seenaknya Gelar Mutasi Pejabat

(Manado Post) Okt 2011

JAKARTA— Kepala daerah harus berhati-hati dalam melakukan rolling pejabat. Pasalnya, dalam revisi Undang-undang Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencantumkan bahwa barangsiapa kepala daerah baik itu gubernur, wali kota ataupun bupati yang melakukan mutasi atau rolling pejabat tidak sesuai dengan aturan, akan dikenakan sanksi seperti pemberhentian.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Raydonnyzar Moenek mengatakan, isi revisi undang-undang 32 yang akan segera dilempar ke DPR RI oleh presiden untuk disahkan, menyebut ada kewenangan penuh oleh gubernur yang adalah wakil pemerintah pusat di daerah untuk memberi sanksi bagi wali kota atau bupati yang melakukan rolling tidak sesuai dengan aturan.

"Pelaksanaan rolling atau mutasi itu haruslah sesuai dengan aturan. Misalnya, rolling sekretaris kota atau sekretaris daerah itu sesuai undang-undang harus konsultasi gubernur. Kalau aturan ini ternyata di lapangan tidak diberlakukan, gubernur punya kewenangan untuk memberi sanksi bagi kepala daerah tersebut," papar Moenek.

Saksi apa yang akan didapatkan? Dijelaskan Moenek, sanksi yang paling berat adalah kepala daerah tersebut diberhentikan. "Tentunya sanksi tegas disesuaikan dengan kesalahan yang dilakukan. Revisi ini hampir final, sudah melewati pembahasan dengan presiden tinggal dimasukkan ke DPR untuk disahkan," tukasnya.

Yang melatarbelakangi revisi undang-undang tersebut menurut Moenek melihat dari efek pemilihan langsung kepala daerah, dimana ada setelah terpilih banyak yang sembarangan melakukan mutasi pada jabatan-jabatan tertentu agar ditempati pendukungnya.

"Ini yang harus dihindari, apalagi jabatan sekretaris daerah itu sangat strategis dan merupakan jabatan karir. Kita mencermati dinamika dan masalah-masalah di daerah banyak yang seperti ini. Intinya, mutasi yang dilakukan harus sesuai dengan norma yang berlaku," tukasnya.

Selain menambahkan sanksi pada revisi UU No 32 Tahun 2004, Kemendagri juga melakukan perubahan pada fungsi kepala daerah yang adalah pembina kepegawaian. "Nantinya kepala daerah bukan lagi pembina kepegawaian, ini untuk menghindari adanya mutasi yang hanya mengikuti selera kepala daerah tersebut," tandasnya. (**)

Rekonstruksi Sistem Kepemilikan SDA untuk Kesejahteraan Rakyat

Oleh Hidayatullah Muttaqin, SE, MSI

Makalah disampaikan dalam:
Studium General “Prospek dan Aplikasi Sistem Ekonomi Islam”
TEMILNAS X 12-13 Maret 2011, Gedung Sultan Suriansyah Banjarmasin

Pengantar

Siapa yang tidak kenal Kalimantan? Pulau terbesar di Indonesia ini menyimpan segudang kekayaan alam. Kekayaan sumber daya alam Kalimantan meliputi kehutanan, pertanian, perkebunan, dan pertambangan.

Dalam Laporan Pemetaan Sektor Ekonomi yang dipublikasikan Bank Indonesia​[1], Kalimantan Timur menempati peringkat kedua setelah Papua sebagai provinsi yang memiliki keunggulan di sektor pertambangan dan penggalian sedangkan Kalimantan Selatan menempati peringkat ketujuh. Pada sub sektor minyak dan gas bumi, Kalimantan Timur tempati peringkat kedua di bawah Riau. Untuk sub sektor pertambangan tanpa migas Kalimantan Selatan berada diperingkat ketiga di bawah Papua dan Nusa Tenggara Barat.

Hanya saja limpahan kekayaan alam tersebut tidak serta merta mengangkat derajat kehidupan penduduk di Kalimantan secara adil dan merata apalagi untuk seluruh rakyat Indonesia. Justru negara melalui berbagai regulasi dan kebijakan membuka kesempatan luas terjadinya penghisapan ekonomi di Kalimantan.
Kutukan Globalisasi

Mengapa wilayah yang kaya SDA justru mengalami pemburukan kinerja dari sisi kesejahteraan masyarakat? Joseph Stiglitz dalam bukunya Making Globalization Work menyebut masalah ini sebagai “kutukan SDA” (natural resource curse).[2]

Menurut Stiglitz, buruknya kinerja tersebut disebabkan oleh banyaknya negara berkembang yang perekonomiannya sangat bergantung pada SDA dan paradoks negara kaya SDA cenderung menjadi negara kaya dengan penduduk yang miskin. Stiglitz menekankan paradoks ini sebagai kegagalan globalisasi yang menjadi pusat kepentingan negara-negara maju.[3]

Secara nasional Kalimantan berkontribusi 9,20% terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto Indonesia yakni sebesar Rp422,7 trilyun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 66,57% Produk Domestik Regional Bruto Kalimantan disumbangkan oleh provinsi Kalimantan Timur (lihat grafik di samping).

Besarnya kontribusi Kaltim terhadap pembentukan PDRB Kalimantan disebabkan oleh potensi pertambangan di provinsi ini jauh lebih besar dibandingkan provinsi lainnya. Struktur PDRB Kaltim sendiri 47,13% disumbangkan oleh sektor pertambangan. Hal ini berbeda dengan provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah yang peran sektor pertambangannya jauh lebih kecil masing-masing 1,48% dan 7,44%. Hanya provinsi Kalimantan Selatan saja yang sektor pertambangannya cukup besar yakni 21,40%.

Meskipun PDRB Kaltim sangat besar bukan jaminan Kaltim tidak ada masalah. Justru provinsi yang paling kaya di Indonesia ini memiliki kinerja yang memprihatinkan dalam upaya mengangkat kesejahteraan rakyatnya. Jikalau output total perekonomian Kaltim (PDRB) diibaratkan sebagai kue, maka hanya sebagian kecil kue saja yang dapat dimakan penduduk Kaltim. Hal yang serupa juga berlaku untuk provinsi lainnya.

Dengan PDRB Rp 281,4 trilyun maka PDRB perkapita Kaltim tahun 2009 mencapai Rp 88,90 juta sehingga menempatkan pendapatan perkapita provinsi ini tertinggi di Indonesia. Anehnya dengan pendapatan rata-rata di atas kertas Rp 7,41 juta per bulan, tingkat pengeluaran perkapita penduduk Kaltim hanya Rp 622.754 saja di mana 45,45% di antaranya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan (lihat lampiran).

Data tersebut menggambarkan adanya gap yang sangat lebar antara pendapatan perkapita di atas kertas dengan pengeluaran perkapita penduduk. Gap ini merupakan indikator terjadinya penghisapan ekonomi. Dari data ini dapat diukur berapa tingkat penghisapan ekonomi.[4]

Tingkat penghisapan ekonomi di Kaltim adalah yang tertinggi di Kalimantan yakni sebesar 90,65%. Berdasarkan perhitungan ini dari Rp 281,4 trilyun PDRB Kaltim hanya 9,35% saja yang dapat dinikmati penduduk selebihnya (90,65%) lari ke luar khususnya ke Jakarta dan ke luar negeri.

Tingkat penghisapan ekonomi provinsi lainnya juga sangat parah tetapi masih di bawah Kaltim. Tingkat penghisapan ekonomi di provinsi Kalbar mencapai 61,98% sedangkan Kalteng dan Kalsel masing-masing 69,02% dan 59,18%. Fakta ini menunjukkan paradoks yang disebutkan oleh Stiglitz. Wilayah yang kaya SDA menjadi kaya dalam ukuran makro (PDRB) tetapi rakyatnya tidak dapat lepas dari kemiskinan karena terjadinya penghisapan.

Kaltim membuktikan sebagai provinsi yang paling besar potensi kekayaan SDA-nya sehingga menjadi provinsi yang paling kaya dalam ukuran makro ekonomi tetapi sebagian penduduknya masih hidup dalam kemiskinan. Dengan standar kemiskinan BPS yang sangat rendah saja, tingkat kemiskinan 2009 di Kaltim mencapai 7,66%. Lebih ironis lagi tingkat pengangguran Kaltim tahun 2009 adalah yang tertinggi di Kalimantan yakni sebesar 11,09%. Tingkat pengangguran ini berada di atas rata-rata tingkat pengangguran nasional 8,14%.

Tingkat pengangguran di provinsi Kalbar 5,63%, Kalteng 4,53%, dan Kalsel 6,75% lebih rendah dari Kaltim karena peran sektor pertanian sebagai penyerap tenaga kerja dalam struktur PDRB masih cukup besar. Peran sektor pertanian Kaltim hanya 5,76% saja sedangkan ketiga provinsi lainnya peran sektor pertanian di atas 20%.

Data-data yang disebutkan di atas membuktikan wilayah yang memiliki kekayaan SDA melimpah akan mengundang penghisapan ekonomi yang lebih besar dibandingkan wilayah yang kekayaan SDA-nya lebih kecil. Meskipun demikian tidak benar bahwa faktor kekayaan SDA menjadi sumber kutukan. Sebab fasilitator penghisapan ekonomi tersebut bukanlah kekayaan SDA itu sendiri melainkan sistem dan aturan kapitalis dan sekuler yang diterapkan di negeri kitalah penyebabnya.

Dalam hal ini globalisasi ekonomi yang didorong oleh motif-motif imperialis negara-negara maju menjadi aktor kunci penghisapan ekonomi di negara-negara berkembang. Negara-negara Kapitalis dengan berkedok globalisasi “mengunci” posisi negara-negara berkembang dalam pusaran liberalisasi ekonomi dan pasar bebas.

Globalisasi membentuk pemahaman bahwa kemakmuran suatu negara dapat diciptakan dengan mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi jalan percepatan bagi sebuah negara (termasuk provinsi) untuk mencapai kemakmuran. Pertumbuhan ekonomi dapat diwujudkan manakala pemerintah pusat dan daerah fokus pada kebijakan peningkatan PDB dan PDRB.

Upaya ini otomatis mendorong pemerintah untuk memperbesar APBN melalui utang. Pemerintah juga dengan sendirinya melakukan liberalisasi ekonomi dan SDA untuk menarik masuknya investor, mencabut subsidi, menaikkan harga barang publik, serta meningkatkan surplus ekspor dari komoditas primer.

Pada tahun 2010 nilai ekspor Kaltim mencapai US$ 25,012 milyar, sedangkan Kalsel US$ 6,37 milyar, Kalbar US$1,05 milyar, dan Kalteng US$ 0,44 milyar. Dengan angka tersebut kontribusi Kaltim terhadap ekspor nasional mencapai 15,90%. Inilah bukti cara penghisapan melalui ekspor SDA yang kemudian hasil-hasilnya berpindah ke tangan para investor baik di Jakarta maupun di luar negeri.

Globalisasi membingkai pertumbuhan ekonomi, investasi asing, dan ekspor menjadi istilah “sakti” yang selalu diinginkan pemerintahan dunia berkembang termasuk para kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten. Padahal manakala pemerintahan daerah mengambil kebijakan tersebut, sesungguhnya mereka telah menjerumuskan rakyatnya dalam kancah global yang imperialis dengan wawasan lokal. Sangat berbahaya dan itu sudah dibuktikan oleh provinsi-provinsi di Kalimantan yang terkena “kutukan globalisasi”.
Politik Ekonomi Islam

Penghisapan ekonomi terjadi karena kita selama ini mempercayai politik pertumbuhan sebagai politik ekonomi yang harus dijalankan. Menurut Abdurrahman al-Maliki[5] politik pertumbuhan merupakan politik ekonomi kapitalis yang menempatkan pertambahan pendapatan nasional sebagai asas perekonomian.

Metode ini hanya memperhatikan bagaimana besaran pendapatan nasional dapat bertambah yang ditandai dengan meningkatnya angka PDB. Metode ini juga menempatkan fokus perhatian negara pada faktor-faktor yang menjadi pendorong pertumbuhan yakni konsumsi masyarakat secara total, tingkat investasi, belanja negara yang dibiayai utang, dan ekspor.

Dalam konteks ini fokus pemecahan masalah ekonomi berkutat pada produksi nasional dalam rangka mendapatkan angka pertumbuhan yang signifikan. Sedangkan warga negara sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan hidupnya secara layak tidak mendapatkan perhatian untuk dipecahkan masalahnya. Fakta tentang penghisapan ekonomi di Kalimantan membuktikan masalah ini.

Dengan demikian jelaslah kekeliruan politik pertumbuhan sebagai asas perekonomian yang diterapkan di negara kita. Sedangkan masalah ekonomi sesungguhnya terletak pada pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara secara menyeluruh dan ini adalah tentang masalah distribusi kekayaan. Jadi politik ekonomi suatu negara seharusnya berpijak pada pemecahan masalah distribusi kekayaan.

Menurut Taqiyuddin an-Nabhani[6] politik ekonomi Islam menjadikan distribusi kekayaan sebagai fokus perhatian. Politik ekonomi Islam memandang manusia secara individu yang harus dijamin pemenuhan kebutuhan primernya secara layak dan menyeluruh, serta mendorong mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuan masing-masing.

Politik ekonomi Islam tidak memandang manusia secara kolektif sebagaimana politik pertumbuhan sistem ekonomi Kapitalis yang memecahkan masalah ekonomi dengan cara peningkatan pendapatan nasional tanpa memperhatikan lagi siapa yang memiliki dan menikmatinya.

Ketika Islam tidak menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai politik ekonomi, bukan berarti perekonomian dalam Islam tidak mengalami pertumbuhan. Sebab politik pertumbuhan dengan ekonomi yang tumbuh adalah dua hal yang berbeda.

Untuk merealisasikan politik ekonomi Islam pemerintah harus mengadopsi Syariah sebagai aturan resmi negara. Dalam hal ini pemerintah harus merekonstruksi ulang aturan tentang sistem kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan berdasarkan aturan Syariah.
Rekonstruksi Sistem Kepemilikan SDA

Politik pertumbuhan menyebabkan terjadinya penghisapan ekonomi yang sangat parah di Kalimantan. Langkah mutlak untuk menghentikan penghisapan tersebut adalah dengan cara merekonstruksi sistem kepemilikan atas SDA. Rekonstruksi sistem kepemilikan dalam Islam dilakukan dengan membagi kepemilikan ke dalam tiga jenis, yakni kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Ini merupakan jalan pertama untuk menciptakan struktur ekonomi yang adil dalam perekonomian.

Kepemilikan individu adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan (utility) tertentu sehingga siapa saja dapat memanfaatkan dan memilikinya.[7] Sedangkan kepemilikan negara adalah harta yang menjadi hak kaum muslimin, sementara pengelolaannya menjadi wewenang khalifah.[8]

Adapun kepemilikan umum merupakan izin Allah kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan benda, yakni benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah untuk suatu komunitas dimana mereka masing-masing saling membutuhkan, dan Allah melarang benda tersebut dikuasai oleh individu (swasta). Benda-benda kepemilikan umum ada tisga macam, yaitu:[9]

* Fasilitas umum yang jika tidak terdapat dalam suatu komunitas dapat menyebabkan sengketa untuk mencarinya.
* Barang tambang yang jumlahnya tak terbatas.
* Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu (swasta).

Merekonstruksi kekayaan SDA Kalimantan ke dalam sistem kepemilikan Islam berarti menjadikan barang tambang yang tidak terbatas (dalam ukuran individu) dan hutan Kalimantan sebagai harta milik umum. Aplikasinya dengan menjadikan sumber daya migas, batubara, hutan, dan tambang mineral menjadi hak milik umat. Konsekwensinya adalah melarang individu termasuk investor asing menguasai kekayaan SDA tersebut.

Adapun fungsi negara terhadap kekayaan SDA adalah sebagai wakil umat yang berkewajiban mengelolanya untuk kesejahteraan rakyat dan kemandirian negara. Di sini fungsi negara hanya sebagai pengelola bukan sebagai pemilik. Karenanya haram hukumnya jika negara menyerahkan penguasaan dan pengelolaan harta milik umum tersebut ke tangan swasta dana asing.

Jika rekonstruksi sistem kepemilikan SDA ini disimulasikan, maka kita tidak perlu bertanya kemana perginya kekayaan SDA Kalimantan atau bahkan kekayaan alam Indonesia secara keseluruhan. Sebagai contoh, ekspor Kaltim tahun 2010 sebesar US$ 25,12 milyar. Karena sebagian besar ekspor Kaltim yakni US$ 23,61 milyar[10] adalah barang tambang maka hasilnya harus masuk ke dalam kas negara pada pos penerimaan harta milik umum. Nilai ekspor barang tambang tersebut setara dengan Rp 212,49 trilyun atau kurang lebih 20% dari rencana pendapatan negara dalam APBN 2011.

Kekayaan SDA dalam bentuk barang tambang adalah sebagian kecil dari harta milik umum. Jika seluruh potensi kekayaan ekonomi kita yang termasuk harta milik umum diperhitungkan maka jumlahnya sangat besar. Dengan menerapkan struktur kepemilikan dalam perekonomian nasional berdasarkan Syariah Islam, maka akan terbentuk struktur ekonomi dimana sebagian besar aset ekonomi termasuk harta milik umum. Selebihnya masuk harta milik individu dan milik negara (lihat grafik struktur kepemilikan dalam perekonomian di atas).

Metode ini tidak mengabaikan hak individu dalam kegiatan ekonomi. Justru struktur kepemilikan ini merupakan sebuah metode untuk menjamin keadilan dalam distribusi kekayaan dan mencegah penghisapan ekonomi. Dengan cara ini sektor swasta tidak dapat menguasai harta milik umum termasuk harta milik negara.

Apa yang terjadi di negeri kita seperti di Kalimantan, sektor swasta (sebagian besar diantaranya adalah asing) menguasai harta milik umum. Sehingga berapapun pertumbuhan ekonomi dapat digenjot hanya akan memperbesar kekayaan sekelompok kecil orang yang disebut pemilik modal. Sebaliknya rakyat yang berhak atas harta milik umum tersebut tetap hidup dalam kemiskinan. Pada saat yang sama agregat makro ekonomi dalam bentuk pendapatan nasional (PDB) terus bertambah besar ukurannya.

Tentu saja setiap kekayaan yang menjadi bagian dari harta milik umum dan juga bagian yang menjadi harta milik negara seluruhnya kembali pemanfaatannya kepada setiap individu yang menjadi warga negara dalam bentuk penyediaan barang publik dan pelayanan umum oleh negara. Ini adalah wujud dari politik negara dalam sistem Islam, yakni politik ri’ayah su’unil ummah.

Politik ini adalah sistem politik yang menempatkan negara sebagai pelayan dan pengatur urusan umat dengan menerapkan Syariah Islam secara totalitas. Bukan seperti negara Kapitalis-Sekuler dan sistem politik demokrasi yang menjadikan negara dan rakyat sebagai “hamba sahaya” dari para pemilik modal.
Penutup

Kalimantan adalah salah satu berkah Allah yang dianugerakan kepada kita selaku umatnya. Namun karena negara kita mengadopsi sistem Kapitalis-Sekuler maka yang terjadi bukan keberkahan yang kita raih melainkan kesengsaraan. Perekonomian kita dan kekayaan alam yang ada di atas bumi Kalimantan termasuk wilayah Indonesia lainnya menjadi obyek penghisapan Kapitalisme global dan Kapitalisme lokal.

Karena itu merekonstruksi sistem kepemilikan SDA sesuai aturan Syariah menjadi agenda yang tidak bisa ditawar-tawar lagi jika kita secara sungguh-sungguh menginginkan pemecahan masalah. Rekonstruksi ini membutuhkan kesadaran dan political will dari semua kalangan khususnya negara. Rekonstruksi ini juga harus diikuti dengan pengadopsian Syariah secara totalitas baik dalam wujud sistem kenegaraan dan politik, maupun dengan rekonstruksi sistem perundang-undangan dan penerapan politik ekonomi Islam. InsyaAllah [JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS]

Hidayatullah Muttaqin adalah Dosen tetap Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat dan Direktur Institut Ekonomi Ideologis.

Demokrasi: Akar Masalah Korupsi dan Kolusi!

[Al Islam 559] Anggapan bahwa demokrasi adalah sistem politik dan pemerintahan terbaik, ternyata bohong besar. Di tanah air, merebaknya demokrasi justru menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi di alam demokrasi ini telah merasuk ke setiap instansi pemerintah, parlemen/wakil rakyat, dan swasta.

Menurut catatan Transparency International Indonesia, indeks korupsi di Indonesia tidak menurun, masih bertahan di angka 2,8. Posisi itu sama dengan periode sebelumnya. Indonesia berada di peringkat 110 dari 178 negara yang disurvey terhadap indeks persepsi korupsi (antaranews, 26/10/2010).

DPR dan DPRD yang dianggap perwujudan demokrasi adalah sarang banyak pelaku korupsi. Berdasarkan hasil survei Kemitraan, lembaga legislatif menempati urutan nomor satu sebagai lembaga terkorup disusul lembaga yudikatif dan eksekutif. Hasil survei tersebut menyebutkan korupsi legislatif sebesar 78%, Yudikatif 70% dan eksekutif 32% (mediaindonesia, 21/4).

Sebutlah skandal pengaturan pemilihan deputi senior gubernur BI periode 2004-2009 yang menjerat dua puluh lima anggota DPR-RI periode 1999-2004; kasus alih fungsi hutan di propinsi Riau; kasus suap proyek wisma atlet yang sekarang ramai dan banyak kasus lainya. Begitu pula deretan anggota DPRD yang terjerat kasus korupsi juga sangat panjang.

Jual-beli aneka RUU, utak-atik anggaran, pemekaran wilayah, pemilihan kepala daerah, proyek pembangunan, pemilihan pejabat, dsb, ditengarai menjadi lahan basah korupsi para anggota dewan. Bahkan para anggota dewan pun ditengarai sering berperan sebagai “calo” atau dikepung oleh para “calo”.

Percaloan di DPR diakui Ketua Komisi I DPR-RI, Mahfudz Siddiq. Ia mengungkapkan, para calo di parlemen sering berkeliaran pada lahan basah DPR, seperti calo jual-beli pasal dalam pembahasan RUU yang menyangkut kepentingan dan kewenangan terkait resources­ -sumber daya-. RUU itu dibandrol harganya bukan lagi pasal perpasal, tapi bahkan sampai ayat perayat. Arena permainan uang juga terjadi dalam kegiatan fit and prosper test. Kasus fit and proper test berpeluang menjadi gratifikasi jabatan yang memiliki nilai tinggi. “Lahan basah yang juga biasa dimanfaatkan yakni saat pembahasan anggaran untuk proyek kementerian maupun pemerintah daerah,” ujarnya (rri.co.id, 22/5).

Mental korup bukan saja dominasi wakil rakyat pusat maupun daerah, tapi juga kepala daerah yang notabene produk pilkada yang demokratis. Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan pada Januari lalu ada 155 kepada daerah yang menjadi tersangka korupsi. “Tiap minggu ada tersangka baru. Dari 155 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi, 74 orang di antaranya adalah gubernur,” ungkap Gamawan (vivanews.com, 17/1).

Akarnya Industri Politik Demokrasi

Mengapa korupsi menggila di alam demokrasi? Jawabannya selain untuk memperkaya diri, korupsi juga dilakukan untuk mencari modal agar bisa masuk ke jalur politik termasuk berkompetisi di ajang pemilu dan pilkada. Sebab proses politik demokrasi, khususnya proses pemilu menjadi caleg daerah apalagi pusat, dan calon kepala daerah apalagi presiden-wapres, memang membutuhkan dana besar. Untuk maju menjadi caleg dibutuhkan puluhan, ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Sementara untuk menjadi bupati saja dibutuhkan dana tidak kurang dari Rp 20 miliar percalon kepala daerah.

Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan: “Minimal biaya yang dikeluarkan seorang calon Rp 20 miliar, akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa sampai Rp 100 hingga Rp 150 miliar. Kalau ditambah dengan ongkos untuk berperkara di MK, berapa lagi yang harus dicari. (kompas.com, 5/7/2010).

Sering kali korupsi makin meningkat saat menjelang pilkada dan pemilu. Kasus korupsi yang dilakukan sejumlah elit parpol saat ini disinyalir adalah bagian dari ancang-ancang pengumpulan dana untuk persiapan pemilu 2014. Parpol merasa bahwa anggaran yang diperoleh dari sumbangan anggotanya yang menjadi pejabat atau anggota legislatif terlalu kecil. Maka korupsi dan kongkalikong dengan pengusaha pun jadi ajang mengeruk dana bagi parpol.

Ledakan korupsi bukan saja terjadi di tanah air, tapi juga di Amerika, Eropa, Cina, India, Afrika, dan Brasil. Negara-negara Barat yang dianggap telah matang dalam berdemokrasi justru menjadi biang perilaku bejat ini. Para pengusaha dan penguasa saling bekerja sama dalam proses pemilu. Pengusaha membutuhkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis, penguasa membutuhkan dana untuk memenangkan pemilu.

Jeffrey D. Sachs, Guru Besar Ekonomi dan Direktur Earth Institute pada Columbia University sekaligus Penasihat Khusus Sekjen PBB mengenai Millennium Development Goals, mengatakan negara-negara kaya adalah pusat perusahaan-perusahaan global yang banyak melakukan pelanggaran paling besar (korantempo, 23/5). Di negara-negara demokrasi itu, seperti di Indonesia, para penguasa korup dan pengusaha yang melakukannya juga kebal hukum.

Jeffrey mengungkap sejumlah pejabat Gedung Putih banyak terlibat skandal. Mantan wakil presiden Dick Cheney masuk ke Gedung Putih setelah menjabat Direktur Utama Halliburton. Selama Cheney memegang jabatan di Halliburton, perusahaan tersebut telah menyuap pejabat-pejabat Nigeria sehingga berhasil memperoleh akses mengelola ladang-ladang minyak di negeri itu -akses yang bernilai miliaran dolar. Ketika pemerintah Nigeria menuduh Halliburton melakukan penyuapan, perusahaan itu menyelesaikan kasus ini di luar pengadilan dengan membayar denda sebesar US$ 3,5 juta.

Presiden AS Barack Obama juga pernah memanfaatkan jasa seseorang di Wall Street bernama Steven Rattner untuk menyelamatkan industri otomotif AS, walaupun Obama tahu bahwa Rattner saat itu sedang diperiksa karena menyuap pejabat-pejabat pemerintah. Setelah menyelesaikan tugasnya di Gedung Putih, Rattner berhasil menyelesaikan kasus suapnya itu dengan membayar denda beberapa juta dolar.

Praktik penyuapan dan korupsi di Indonesia juga melibatkan perusahaan asing. Biro investigasi federal Amerika Serikat (AS) atau FBI mengungkapkan adanya praktek suap yang dilakukan perusahaan AS di Indonesia. Terutama perusahaan AS yang beroperasi di wilayah Indonesia.

Gary Johnson, Kepala Unit Penangan Korupsi FBI menyatakan bahwa ada kasus-kasus yang melibatkan perusahaan AS yang beroperasi di Indonesia dan itu berada di bawah FCPA (Foreign Corrupt Practices Act) atau di bawah UU antikorupsi (detiknews.com, 11/5).

Jelaslah sudah, sistem politik demokrasi justru menjadi akar masalah munculnya perilaku korupsi dan kolusi.

Negara Disandera Kolusi Pengusaha-Penguasa/Politisi

Kolusi pengusaha dan penguasa ini menandakan negara telah jatuh disandera para politisi dan pengusaha demi kepentingan mereka. Korupsi hanyalah satu cara untuk balik modal dan mencari keuntungannya. Jika korupsi nanti tidak lagi tren, maka mengembalikan modal sendiri atau “sumbangan” pemodal akan dilakukan secara “legal”. Untuk itu dibuat berbagai peraturan yang memungkinkannya, misalnya memberikan apa yang disebut insentiv, dsb. Bisa juga dilakukan melalui proses legal yang telah diatur, seperti proyek yang dimenangkan para pemodal itu melalui tender yang telah “diatur” yang secara kasat mata terlihat memenuhi semua peraturan. Untuk itu proyek-proyek harus diadakan dan diperbanyak. Itulah mengapa muncul banyak proyek “aneh”. Negara dan sumber dayanya pada akhirnya disandera oleh kolusi politisi/penguasa dengan pengusaha, dan lebih parah lagi ditambah dengan pihak asing.

Semua itu telah menjadi bersifat sistemik karena yang menjadi akar masalahnya adalah sistem politik demokrasi yang mungkin lebih tepat disebut industri politik demokrasi. Layaknya industri yang untuk adalah para pengelolanya (penguasa, pejabat dan politisi) dan para pemodalnya yaitu para kapitalis pemilik modal. Rakyat akan terus menjadi konsumen dan kepentingan rakyat hanyalah obyek layaknya barang dagangan. Akibat semua itu, kepentingan rakyat selalu dikalahkan.

Wahai kaum muslimin!

Telah jelas bahwa demokrasi melahirkan para pemimpin bermental korup, zalim, dan rakus. Demokrasi telah membiasakan para penguasanya untuk gemar berbuat curang, menerima suap, korupsi, dan melakukan kolusi yang merugikan rakyat, padahal Allah dan RasulNya telah mengharamkan perbuatan tersebut.

Sesungguhnya kerusakan penguasa dan pemerintahan yang sekarang ada bukanlah sekadar disebabkan bejatnya moral para pemimpin, tapi karena kebusukan sistemnya. Sudah seharusnya umat mencampakkan sistem industri politik demokrasi dan menggantinya dengan sistem yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, yang menjamin keberkahan hidup di dunia dan akhirat.

Karena itu untuk menghindarkan umat dari semua itu dan mewujudkan kehidupan yang lebih baik maka tidak ada jalan lain kecuali mencampakkan sistem industri politik demokrasi yang menjadi akar semua problem itu. Dan berikutnya kita ambil dan terapkan petunjuk hidup dan sistem yang diberikan oleh Allah yag Mahabijaksana. Sebab Allah SWT sendiri telah menjamin bahwa Islam akan memberikan kehidupan kepada kita semua dan umat manusia umumnya.

Apakah tidak cukup umat menderita dalam sistem demokrasi dan setiap hari menyaksikan kerusakan demi kerusakan ditimbulkan oleh sistem ini yang dijalankan para penguasa? Sungguh Allah telah memberi pelajaran kepada kita semua, semoga kita bisa memahaminya. Maka, hukum siapakah yang lebih baik dibandingkan dengan hukum Allah SWT.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. al-Maidah: 50).

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Kamis, 03 November 2011

Hukum menerima hadiah bagi hakim dan pegawai adalah tidak boleh (haram)

Oleh : Kementerian Keuangan - Indonesia


Untuk para hakim dan pegawai pemerintah, terdapat keterangan yang mengkhususkan bahwa mereka tidak boleh menerima hadiah, berdasarkan hadis-hadis sebagai berikut;



رياض الصالحين (تحقيق الدكتور الفحل) – (1 / 164)

(1)- وعن أبي حُمَيدٍ عبد الرحمان بن سعد السَّاعِدِي – رضي الله عنه – ، قَالَ : اسْتَعْمَلَ النَّبيُّ – صلى الله عليه وسلم – رَجُلاً مِنَ الأزْدِ((2)) يُقَالُ لَهُ : ابْنُ اللُّتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ ، فَلَمَّا قَدِمَ ، قَالَ : هَذَا لَكُمْ ، وَهَذَا أُهْدِيَ إِلَيَّ ، فَقَامَ رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – عَلَى المِنْبَرِ فَحَمِدَ الله وَأثْنَى عَلَيهِ ، ثُمَّ قَالَ : (( أمَّا بَعدُ ، فَإِنِّي أسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ منْكُمْ عَلَى العَمَلِ مِمَّا وَلاَّنِي اللهُ ، فَيَأتِي فَيَقُولُ : هَذَا لَكُمْ وَهَذا هَدِيَّةٌ أُهْدِيتْ إلَيَّ ، أفَلا جَلَسَ في بيت أبِيهِ أَوْ أُمِّهِ حَتَّى تَأتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إنْ كَانَ صَادِقاً ‍، واللهِ لا يَأخُذُ أحَدٌ مِنْكُمْ شَيئاً بِغَيرِ حَقِّهِ إلاَّ لَقِيَ الله تَعَالَى ، يَحْمِلُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ، فَلا أعْرِفَنَّ أحَداً مِنْكُمْ لَقِيَ اللهَ يَحْمِلُ بَعيراً لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ )) ثُمَّ رفع يديهِ حَتَّى رُؤِيَ بَيَاضُ إبْطَيْهِ ، فَقَالَ :

(( اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ )) ثلاثاً مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .

“Dari Abu humaid Abdurrahman bin Sa’d Assa’idy ra.. berkata:’ Rasulullah menugaskan seseorang dari suku Azdi yang bernama Ibnu Al Lutbiyyah untuk mengumpulkan zakat, kemudian ketika orang tersebut datang kepada beliau dan berkata: ‘ini buat tuan dan ini hadiah untuk saya’; Rasulullah saw lantas berdiri diatas mimbar terus memuji dan menyanjung Allah serta bersabda;’ kemudian daripada itu, sesungguhnya aku telah menugaskan seseorang diantara kamu untuk suatu tugas yang diberikan Allah kepadaku, kemudian ia berkata:’ ini buat tuan dan ini hadiah untuk saya’

Mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, sehingga nanti datang hadiah itu kepadanya , seandainya ia orang yang benar. Demi Allah, seseorang diantara yang mengambil sesuatu bukan haknya , niscaya di hari kiamat akan menghadap Allah dengan memikul sesuatu itu, maka saya tidak ingin salah seorang diantara kalian menghadap Allah dengan memikul onta, lembu atau kambing yang mengembik’ Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga terlihat putih kedua ketiak beliau seraya berkata;’ Wahai Allah bukankah saya telah menyampaikan?’ sebanyak tiga kali (Hadis muttafaqun alayh, dikutip dari Riyadhus Sholihin juz 1 hal 164)

Hadis yang lain lebih tegas:

سنن أبى داود – (8 / 169)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

“Dari Abdullah bin Buraidah dari Bapaknya Rasulullah saw bersabda:’ Barangsiapa bekerja dan telah mendapat gaji, maka pendapatan yang selebihnya dikatakan ghulul’ (Hadis Abu Dawud No 2554)

جامع الأحاديث – (22 / 323)

هدايا العمال غلول (أحمد ، والطبرانى ، وابن عدى ، والبيهقى عن أبى حميد الساعدى)

“Dari Abu Humaid Assa’ady: Rasulullah bersabda :’ hadiyah kepada pegawai dianggap sebagai ghulul” (hadis riwayat Ahmad, Thabrani, Bayhaqi dan Ibnu “Adi, dikutip dari Jami’ul Ahadis, hadis no. 25011)

Hadis yang senada dengan hadis diatas banyak hanya beda redaksi sedikit dan beda sanadnya

Apa itu ghulul?

جامع الأحاديث – (1 / 274)

الغُلُول هو الخيانة فى المغْنَم والسَّرِقَة من الغَنِيمة قبل القِسْمة

“ghulul adalah hianat terhadap harta pampasan perang dan mencuri harta pampasan perang sebelum dibagi” (Jami’ul Ahadis Juz 1 hal. 274)

Bagaimana para ‘ulama memahami hadis-hadis ini? Salah satunya adalah yang terdapat dalam kitab Al Fiqh al Islam wa ‘Adillatuhu karya Prof Dr. Wahbah Zuhaili

الفقه الإسلامي وأدلته – (8 / 101)

لا يقبل القاضي هدية أحد إلا من ذي رحم محرم، أو ممن جرت عادته قبل القضاء بمهاداته؛ لأن المقصود في الأول صلة الرحم، وفي الثاني استدامة المعتاد. والحاصل أن المهدي إذا كان له خصومة في الحال يحرم قبول هديته، لأنها بمعنى الرشوة

“seorang hakim (termasuk pegawai) dilarang menerima hadiah, kecuali dari saudaranya yang digolongkan mahram atau dari seseorang yang sudah biasa bertukar hadiah sebelum dia diangkat menjadi hakim atau pegawai, yang pertama dimaksudkan agar tetap terjaga silaturrahim, sedangkan yang kedua dimaksudkan agar kebiasaan yang baik tidak menjadi hilang. Namun ada syarat lain si pemberi hadiah tidak dalam keadaan berperkara (berurusan) dengannya, apabila berurusan dianggap risywah (Al Fiqh Al Islami wa Adillathuhu Juz 8 hal 101)

Rabu, 02 November 2011

BUDIDAYA DAN KEUNGGULAN PADI ORGANIK METODE SRI (System of Rice Intensification)

1. 1novasi metode SRI
SRI adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara
mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara, terbukti telah berhasil meningkatkan
produktifitas padi sebesar 50% , bahkan di beberapa tempat mencapai lebih dari 100%.
Metode ini pertama kali ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara tahun 1983 -84 oleh
Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama
petani-petani di sana. Oleh penemunya, metododologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancis
dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive disingkat SRI. Dalam bahasa Inggris populer dengan
nama System of Rice Intensification disingkat SRI.
Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan
SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development
(CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana
National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. SRI
telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka, dan Bangladesh dengan hasil yang positif.
SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director CIIFAD). Pada tahun
1987, Uphoff mengadakan presentase SRI di Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI
dilaksanakan di luar Madagaskar
Hasil metode SRI sangat memuaskan. Di Madagaskar, pada beberapa tanah tak subur yang produksi
normalnya 2 ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha,
beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha. Metode SRI
minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode yang biasa dipakai petani. Hanya
saja diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen.
Dalam SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan
diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padi
dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya.
2
2 . Prinsip-prinsip budidaya padi organik metode SRI
1. Tanaman bibit muda berusia kurang dari 12 hari setelah semai (hss) ketika bibit masih
berdaun 2 helai
2. Bibit ditanam satu pohon perlubang dengan jarak 30 x 30, 35 x 35 atau lebih jarang
3. Pindah tanam harus sesegera mungkin (kurang dari 30 menit) dan harus hati-hati agar akar
tidak putus dan ditanam dangkal
4. Pemberian air maksimal 2 cm (macak-macak) dan periode tertentu dikeringkan sampai pecah
(Irigasi berselang/terputus)
5. Penyiangan sejak awal sekitar 10 hari dan diulang 2-3 kali dengan interval 10 hari
6. Sedapat mungkin menggunakan pupuk organik (kompos atau pupuk hijau)
3. Keunggulan metode SRI
1. Tanaman hemat air, Selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai panen memberikan air
max 2 cm, paling baik macak-macak sekitar 5 mm dan ada periode pengeringan sampai tanah
retak ( Irigasi terputus)
2. Hemat biaya, hanya butuh benih 5 kg/ha. Tidak memerlukan biaya pencabutan bibit, tidak
memerlukan biaya pindah bibit, tenaga tanam kurang dll.
3. Hemat waktu, ditanam bibit muda 5 - 12 hss, dan waktu panen akan lebih awal
4. Produksi meningkat, di beberapa tempat mencapai 11 ton/ha
5. Ramah lingkungan, tidak menggunaan bahan kimia dan digantikan dengan mempergunakan
pupuk organik (kompos, kandang dan Mikro-oragisme Lokal), begitu juga penggunaan
pestisida.
4. Teknik Budidaya Padi Organik metode SRI
4.1. Persiapan benih
Benih sebelum disemai diuji dalam larutan air garam. Larutan air garam yang cukup untuk
menguji benih adalah larutan yang apabila dimasukkan telur, maka telur akan terapung.
Benih yang baik untuk dijadikan benih adalah benih yang tenggelam dalam larutan tersebut.
Kemudian benih telah diuji direndam dalam air biasa selama 24 jam kemudian ditiriskan
dan diperam 2 hari, kemudian disemaikan pada media tanah dan pupuk organik (1:1) di
dalam wadah segi empat ukuran 20 x 20 cm (pipiti). Selama 7 hari. Setelah umur 7-10 hari
benih padi sudah siap ditanam
4.2. Pengolahan tanah
Pengolahan tanah Untuk Tanam padi metode SRI tidak berbeda dengan cara pengolahan
tanah untuk tanam padi cara konvesional yaitu dilakukan untuk mendapatkan struktur tanah
yang lebih baik bagi tanaman, terhidar dari gulma. Pengolahan dilakukan dua minggu
sebelum tanam dengan menggunakan traktor tangan, sampai terbentuk struktur lumpur.
Permukaan tanah diratakan untuk mempermudah mengontrol dan mengendalikan air.
4.3. Perlakuan pemupukan
Pemberian pupuk pada SRI diarahkan kepada perbaikan kesehatan tanah dan penambahan
unsur hara yang berkurang setelah dilakukan pemanenan. Kebutuhan pupuk organik pertama
setelah menggunakan sistem konvensional adalah 10 ton per hektar dan dapat diberikan
sampai 2 musim taman. Setelah kelihatan kondisi tanah membaik maka pupuk organik bisa
berkurang disesuaikan dengan kebutuhan. Pemberian pupuk organik dilakukan pada tahap
pengolahan tanah kedua agar pupuk bisa menyatu dengan tanah.
4.4. Pemeliharaan
Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang terus menerus, cukup
dengan kondisi tanah yang basah. Penggenangan dilakukan hanya untuk mempermudah
pemeliharan. Pada prakteknya pengelolaan air pada sistem padi organik dapat dilakukan
3
sebagai berikut; pada umur 1-10 HST tanaman padi digenangi dengan ketinggian air ratarata
1cm, kemudian pada umur 10 hari dilakukan penyiangan. Setelah dilakukan penyiangan
tanaman tidak digenangi. Untuk perlakuan yang masih membutuhkan penyiangan
berikutnya, maka dua hari menjelang penyiangan tanaman digenang. Pada saat tanaman
berbunga, tanaman digenang dan setelah padi matang susu tanaman tidak digenangi kembali
sampai panen.
Untuk mencegah hama dan penyakit pada SRI tidak digunakan bahan kimia, tetapi
dilakukan pencengahan dan apabila terjadi gangguan hama/penyakit digunakan pestisida
nabati dan atau digunakan pengendalian secara fisik dan mekanik
5. Pertanian Padi Organik Metode SRI dan Konvesional .
Sistem tanam padi SRI, pada prakteknya memiliki banyak perbedaan dengan sistem tanam
Konvensional (Tabel 3)
Tabel 3. Perbedaan sisten tanam padi Organik SRI dengan sistem Konvensional
No. Komponen Sistem konvensional Sistem organic SRI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
-kebutuhan benih
-pengujian benih
-umur di persemaian
-Pengolahan tanah
-jumlah tanaman perlubang
-posisi akar waktu tanam
-pengairan
-pemupukan
-penyiangan
-rendemen
30-40 kg/ha
tidak dilakukan
20-30 HSS
2-3 kali (Struktur lumpur)
rata-rata 5 pohon
tidak teratur
terus digenangi
mengutamakan pupuk
kimia
diarahkan kepada
pemberantasan gulma
50-60%
5-7 Kg/ha
dilakukan pengujian
7-10 HSS
3 kali (struktur lumpur dan
rata)
1 pohon/lubang
posisi akar horozontal (L)
disesuaikan dengan kebutuhan
hanya dengan pupuk organik
diarahkan kepada pengelolaan
perakaran
60-70%
Keterangan: HSS = Hari setelah semai
6. Perbedaan Hasil Cara SRI dengan Konvensional
Kebutuhan pupuk organik dan pestisida untuk padi organik metode SRI dapat diperoleh dengan cara
mencari dan membuatnya sendiri. Pembuatan kompos sebagai pupuk dilakukan dengan memanfaatkan
kotoran hewan, sisa tumbuhan dan sampah rumah tangga dengan menggunakan aktifator MOL
(Mikro-organisme Lokal) buatan sendiri, begitu pula dengan pestisida dicari dari tumbuhan behasiat
sebagai pengendali hama. Dengan demikian biaya yang keluarkan menjadi lebih efisien dan murah.
Penggunaan pupuk organik dari musim pertama ke musim berikutnya mengalami penurunan rata-rata
25% dari musim sebelumnya. Sedangkan pada metode konvensional pemberian pupuk anorganik dari
musim ke musim cenderung meningkat, kondisi ini akan lebih sulit bagi petani konvensional untuk
dapat meningkatkan produsi apalagi bila dihadapkan pada kelangkaan pupuk dikala musim tanam
tiba.
Pemupukan dengan bahan organik dapat memperbaiki kondisi tanah baik fisik, kimia maupun biologi
tanah, sehingga pengolahan tanah untuk metode SRI menjadi lebih mudah dan murah, sedangkan
pengolahan tanah yang menggunakan pupuk anorganik terus menerus kondisi tanah semakin
kehilangan bahan organik dan kondisi tanah semakin berat, mengakibatkan pengolahan semakin sulit
dan biaya akan semakin mahal
4
Tabel.4. Analisa Usaha Tani Cara Konvensional dan metode SRI setelah musim
ke 2 dalam 1 ha
No. Uraian Cara Biasa Cara organik
SRI
A. Komponen Input/ha
Benih (Rp. 5000/kg)
Pupuk
1. organik (jerami +3 ton kompos)
2. an-organik Urea, SP36, KCl.(2:1:1)
Pengolahan Tanah
Pembuatan persemaian
Pencabutan benih (babut)
Penanaman
Penyulaman
Penyiangan
Pengendalian OPT dengan
1. Pestisida kimia
2. Biopestisida
panen
250.000
-
750.000
1.000.000
105.000
100.000
350.000
20.000
750.000
500.000
-
1.000.000
25.000
1.200.000
-
1.000.000
30.000
-
350.000
50.000
1.050.000
-
150.000
2.000.000
Jumlah 4.825.000 5.855.000
B Komponen output
-Produksi padi
-Harga padi Rp 2.000,00/kg (diprediksi harga sama)
5.ton
10.000.000
10. ton
20.000.000
C Keuntungan 5.175.000 14.145.000.
Hasil panen pada metode SRI pada musim pertama tidak jauh berbeda dengan hasil sebelumnya
(metode konvensional) dan terus meningkat pada musim berikutnya sejalan dengan meningkatnya
bahan organik dan kesehatan tanah.
Beras organik yang dihasilkan dari sistem tanam di musim pertama memiliki harga yang sama dengan
beras dari sistem tanam konvesional, harga ini didasarkan atas dugaan bahwa beras tersebut belum
tergolong organik, karena pada lahan tersebut masih ada pupuk kimia yang tersisa dari musim tanam
sebelumnya. Dan untuk musim berikutnya dengan menggunakan metode SRI secara berturut-turut,
maka sampai musim ke 3 akan diperoleh beras organik dan akan memiki harga yang lebih tinggi dari
beras padi dari sistem konvensional.
7. Manfaat Sistem SRI
Secara umum manfaat dari budidaya metode SRI adalah sebagai berikut
1. Hemat air (tidak digenang), Kebutuhan air hanya 20-30% dari kebutuhan air untuk cara
konvensional
2. memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah, serta mewujudkan keseimbangan ekologi tanah
3. Membentuk petani mandiri yang mampu meneliti dan menjadi ahli di lahannya sendiri. Tidak
tergantung pada pupuk dan pertisida kimia buatan pabrik yang semakin mahal dan terkadang
langka
4. membuka lapangan kerja dipedesaan, mengurangi pengangguran dan meningkatkan
pendapatan keluarga petani
5. menghasilkan produksi beras yang sehat rendemen tinggi, serta tidak mengandung residu
kimia
6. mewariskan tanah yang sehat untuk generasi mendatang
5
8. KESIMPULAN
Metode SRI menguntungkan untuk petani, karena produksi meningkat sampai 10 ton/ha, selain itu
karena tidak mempergunakan pupuk dan pestisida kimia, tanah menjadi gembur, mikroorganisme
tanah meningkat jadi ramah lingkungan.
Untuk mempercepat penyebaran metode SRI perlu dukungan dengan kebijakan pemerintah pusat
maupun daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Entun Santosa, 2005. Rice organic farming is a programme for strengtenning food security in
sustainable rural development, Makalah disampaikan pada seminar Internasinal Kamboja
ROF.
Kuswara dan Alik Sutaryat, 2003. Dasar Gagasan dan Praktek Tanam Padi Metode SRI (System of
Rice Intencification). Kelompok Studi Petani (KSP). Ciamis
Mutakin, J. 2005. Kehilangan Hasil Padi Sawah Akibat Kompetisi Gulma pada Kondisi SRI (Systen of
Rice Intencification). Tesis. Pascasarjana. Unpad Bandung
Sampurna Untuk Indonesia, 2008. SRI Sytem Rice intensification, Pasuruan
IDENTITAS PENULIS
Nama : JENAL MUTAKIN
Tempat/ Tanggal lahir : Garut, 5 Maret 1967
Pendidikan Terakhir : (S2) Magister Pertanian
Pekerjaan : Dosen tetap Yayasan Universitas Garut
Tempat tinggal sekarang : Kp. Cikubang RT 02 RW 05 Kelurahan
Lebakjaya Kec. Karangpawitan Garut
Tlp. (0262)239 852

DESKRIPSI PADI SIAM SABA

Asal : Ds. Sungai Musang, Kec. Aluh – Aluh,
Kab. Banjar
Golongan : Cere
Umur Tanaman : 240 hari
Bentuk Tanaman : Tegak
Tinggi Tanaman : 149,86 – 150,91 cm
Anakan Produktif : Tinggi (18,14 – 18,77 anakan)
Warna Kaki : Hijau
Warna Batang : Hijau
Warna Daun : Hijau
Warna Daun Telinga : Hijau Pucat
Warna Lidah Daun : Putih
Buku Batang : Sebagian besar terbungkus
Permuka Daun : Agak Kasar
Posisi Daun : Agak Terkulai (45 0)
Posisi Daun Bendera : Semi tegak (20 – 350)
Bentuk Gabah : Kecil Ramping
Warna Gabah : Kuning Kecoklatan
% gabah isi/malai : 96.37 % – 96. 64 %
Jumlah gabah/malai : 221.37 – 246.52 butir/malai
Kerontokan : Sedang
Tangkai Malai : Keluar penuh
Kerebahan : Kurang Tahan
Tektur : Pera
Rasa Nasi : Enak
Berat 1000 butir : 17,61 – 17,87 gram
Kadar Amilose : 29,75 %
Kadar Protein : 7,36 %
Kadar Karbohidrat : 81,69 %
Ketahanan Hama : Tidak tahan Wereng Coklat Biotype 3
Ketahanan Penyakit : Relatif Tahan terhadap Cercosprora
Potensi Hasil : 4,50-5.50 t/ha GKP
Keterangan : Sesuai untuk lahan pasang surut
Pemulia : Aan A. Darajat (Balai Besar Penelitian Padi),
Achmadi Jumberi, dan Izhar Khairullah
(Balittra)
Tim Peneliti : Erma Budiyanto, R. Maidah, M. Syarbaini, Andriani,
Tri Susanto EP, Sodik, Sri Setyasno,
Subandana,
Bayu Resi Putra (BPSBTPH), Chairuddin
(BPTP),
Achmadi Jumberi, dan Izhar Khairullah
(Balittra).
Pengusul : Pemda Propinsi Kalsel, BPSBTPH dan Pemda /
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Banjar

Hidup di Negara yang Bercekaman Tinggi

Ditulis oleh awangmaharijaya

”Siapa saja yang mengusahakan tanah mati menjadi hidup (dapat ditanami), baginya mendapatkan suatu ganjaran pahala. Dan makhluk apa pun yang mendapatkan makan darinya akan dihitung sebagai pahala baginya”(Hadist)


Tulisan ini ditulis bukan bermaksud mendemotivasi kita untuk mau hidup lagi di Indonesia, namun justru sebaliknya, saya ingin memotivasi pembaca dengan memberikan sedikit uraian mengenai tantangan yang harus dihadapi Indonesia dalam bidang pertanian.

Saya merasa perlu menulis tulisan ini karena pada beberapa postingan milis yang saya dapatkan, masih banyak rekan-rekan yang menulis atau mengambil tulisan dengan tema umum seperti ini, ”INDONESIA NEGARA YANG KAYA AKAN SUMBERDAYA ALAM, MENGAPA TIDAK MAJU” dan yang sejenisnya. Selanjutnya saya bukan bermaksud melakukan pembelaan atau yang sejenisnya.

Adapun yang ingin saya kemukakan adalah pentingnya memahami tantangan pengembangan pertanian dari sisi cekaman yang ditemukan. Saya sering berdiskusi dengan Prof. M.A. Chozin (Guru Besar Ekofisiologi IPB) mengenai kendala perkembangan pertanian dan pemanfaatan sumberdaya alam di Indonesia. Salah satu hal yang sering menjadi inti diskusi adalah banyaknya cekaman yang ada di Indonesia berupa cekaman biotik dan abiotik.

Bahkan kedua jenis cekaman tersebut saling berinteraksi. Kedekatan saya dengan Prof. Chozin terutama visi dan misinya menyadarkan saya sebagai generasi muda yang tumbuh dan berkembang di Indonesia untuk memahami permasalahan ini dan berbuat sesuatu semampu saya. Bangsa Indonesia patut bersyukur karena memiliki wilayah yang berada pada wilayah tropis. Wilayah tropis merupakan wilayah di garis katulistiwa dan wilayah ke utara dan ke selatan sampai sekitar garis lintang 23 ½o.

Luasan wilayah tropika di dunia diperkirakan sebesar 40% dari total permukaan bumi. Dikarenakan secara geografis Indonesia terletak antara 95oBT sampai 141oBT, dan 6oLU sampai 11oLS dengan lebar dari utara sampai selatan sekitar 2000 km dan panjang dari timur sampai barat sekitar 5000 km, maka wilayah Indonesia termasuk dalam salah satu negara tropis terbesar di dunia. Wilayah tropis dikenal memiliki agroklimat yang unik dan berpotensi besar dalam pengembangan pertanian. Iklim tropis tersebut membawa pengaruh terhadap karakteristik lingkungan di wilayah tropis. Karakteristik lingkungan tropis dapat dipandang sebagai suatu potensi yang luar biasa dalam bidang pertanian. Namun demikian, potensi tersebut diiringi dengan berbagai tantangan dalam manajemennya, karena kalau tidak diatasi dengan baik justru dapat menjadi faktor penghambat pertanian di wilayah tropis.


Potensi dan tantangan pertanian di wilayah tropika

Potensi lingkungan tropis terutama sekali terletak pada adanya lingkungan yang beragam dengan agroklimat yang mendukung yang memungkinkan adanya tingkat produksi sepanjang tahun yang stabil. Dengan demikian daya produksi tahunan di wilayah tropis lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Komponen agroklimat yang dimaksud adalah intensitas cahaya matahari (energi surya) yang tinggi, suhu relatif konstant dan kelembaban serta curah hujan yang tinggi. Dengan adanya agroklimat yang baik tersebut, wilayah Indonesia memungkinkan ditumbuhi berbagai organisme sehingga Indonesia dikenal sebagai negara mega-biodiversity. Adanya keragaman tipe ekosistem termasuk adanya tekanan abiotik dan biotik di wilayah tropika dapat mendorong munculnya keragaman genetik tanaman asli dan tidak tertutup kemungkinan untuk mengintroduksi tanaman dari luar (sub-tropis).

Potensi tersebut diikuti oleh berbagai tantangan dalam mengembangkan pertanian di wilayah tropika. Dalam kegiatan pertanian, pertumbuhan tanaman dari fase benih/bibit hingga produksi/panen akan melibatkan berbagai faktor lingkungan biotik dan abiotik. Komponen abiotik adalah iklim dan tanah, sedangkan komponen biotik berupa hama, penyakit dan gulma. Agroklimat yang mendukung pertumbuhan organisme menjadi penyebab tingginya keragaman organisme pengganggu dalam usaha pertanian di wilayah tropis. Dengan adanya faktor tersebut maka pertanian di wilayah tropis seringkali tidak berada pada kondisi yang optimum untuk pertumbuhan dan produksi tanaman, dan pengembangan pertanian akan bergeser pada lahan dan kondisi agroklimat sub-optimum (bercekaman). Hal tersebut dapat mendorong gap yang besar antara potential yield dan actual yield yang dapat mengancam ketahanan pangan nasional.

Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, jumlah lahan produksi yang produktif semakin berkurang. Konversi lahan pertanian secara umum saja saat ini adalah sebesar 1.4 % per tahun di pulau Jawa. Lahan pertanian banyak berganti wajah menjadi pemukiman dan fasilitas lain. Dengan demikian diperlukan usaha untuk meningkatkan produktivitas pertanian pada lahan produktif yang semakin terbatas. Untuk kondisi saat ini, usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi dapat ditempuh diantaranya dengan cara yaitu: penggunaan bibit unggul, perbaikan teknologi budidaya, perbaikan penanganan pasca panen dan pemanfaatan lahan-lahan bercekaman.

Pemanfaatan lahan-lahan bercekaman merupakan peluang yang besar untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional bahkan dunia mengingat masih banyaknya lahan-lahan bercekaman ini. Sebagai contoh, sampai saat ini lahan sawah irigasi masih menjadi tulang punggung produksi padi nasional padahal pembangunan sistem irigasi memerlukan dana yang tidak sedikit. Adanya kecenderungan penyusutan lahan produktif di Pulau Jawa dan di daerah lain (termasuk lahan sawah produktif) akhirnya mendorong untuk mengarahkan perhatian pada ketersediaan lahan marginal yang ada. Adapun lahan marginal ini diantara berupa lahan tadah hujan, pasang surut, rawa, dan lahan kering.


Cekaman Lingkungan Abiotik pada Lahan-Lahan Marginal

Cekaman abiotik merupakan ancaman pengembangan pertanian di wilayah tropis. Beberapa cekaman abiotik yang dirasakan sangat mengganggu diantaranya adalah kekeringan, terlalu banyak air (genangan), salinitas/alkalinitas, tanah sulfat masam, kekurangan unsur P dan Zn, serta keracunan Al dan Fe.

Kekeringan dan Genangan air

Ketersediaan air dalam jumlah yang cukup merupakan hal yang penting bagi produksi pertanian. Mayoritas tanaman memerlukan cukup banyak air sehingga masih cukup sulit dikembangkan pada lahan-lahan kering. Meskipun demikian jika terlalu banyak air atau tergenang sepanjang waktu juga tidak menguntungkan bagi tanaman dan akan terjadi pengurangan nilai produksi.

Kemasaman Tanah

Kemasaman tanah merupakan kendala paling inherence dalam pengembangan pertanian di lahan sulfat masam. Tanaman tumbuh normal (sehat) umumnya pada ph 5,5 untuk tanah gambut dan pH 6,5 untuk tanah mineral karena pada pH < 4,5 terjadi peningkatan Al3+, Fe2+, dan Mn2+ dan pada pH < 6,5 terjadi kahat Ca, Mg, dan K (Notohadiprawiro, 2000).

Salinitas

Kelarutan garam yang tinggi dapat menghambat penyerapan (up take) air dan hara oleh tanaman seiring dengan terjadinya peningkatan tekanan osmotik. Secara khusus, keragaman yang tinggi menimbulkan keracunan tanaman, terutama oleh ion Na+ dan Cl-1.

Keracunan Aluminium, Besi dan Asam-Asam Organik

Kadar aluminium (Al) pada tanah sulfat masam berkaitan dengan oksidasi pirit. Suasana yang sangat masam mempercepat pelapukan mineral alumino silikat dengan membebaskan dan melarutkan Al yang lebih banyak (Notohadiprawiro, 2000). Besi (Fe) dalam tanah sulfat masam yang sering menimbulkan masalah adalah dalam bentuk ferro (Fe2+) yang menyebabkan keracuan bagi tanaman, khususnya dalam kondisi tergenang. Asam sulfida (H2S) sebagai hasil dari reduksi sulfat dapat menimbulkan keracunan, misalnya pada padi dengan kondisi tanah tergenang.

Asam-asam organik juga dihasilkan dari perombakan bahan organik secara anaerob, tetapi dalam kondisi masam perombakan menjadi terhambat sehingga penimbunan asam-asam ini dapat menimbulkan keracunan bagi tanaman.

Dengan semakin tergesernya lahan-lahan pertanian termasuk padi ke lahan-lahan kurang subur termasuk ke lahan-lahan marginal, permasalahan cekaman abiotik ini akan menjadi semakin penting. Pada lahan-lahan marginal tingkat cekaman abiotik pertanaman padi tentu saja akan semakin besar. Namun melihat fakta banyaknya konversi lahan subur dari pertanian menjadi non-pertanian, sangat mustahil jika peningkatkan produksi akan dicapai dengan mengandalkan lahan-lahan yang subur saja. Ke depan pemanfaatan lahan-lahan dengan cekaman abiotik yang tinggi akan semakin penting dalam usaha peningkatan produksi padi secara keseluruhan.

Keberhasilan dalam mengatasi permasalahan cekaman abiotik ini akan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam meningkatkan produksi pertanian. Dalam mengatasi permasalahan cekaman abiotik pada lahan-lahan pertanaman padi maupun lahan-lahan marginal, dapat dilakukan dengan dua cara. Kedua cara tersebut yang pertama adalah dengan memodifikasi lahan-lahan marginal sedemikian rupa sehingga menyerupai lingkungan yang disukai suatu varietas tertentu, atau yang kedua dengan melakukan pemuliaan tanaman yang toleran terhadap cekaman-cekaman abiotik tertentu sesuai dengan kebutuhan atau dengan kata lain mengembangkan varietas-varietas tanaman baru yang tahan terhadap cekaman lingkungan abiotik. Hal di atas sangat penting untuk dillakukan, karena pemanfaatan lahan-lahan bercekaman tersebut akan sangat bermanfaat dan berpotensi tinggi.

Sebagai ilustrasi, dalam hal ketersediaan lahan pasang surut saja, di Indonesia kurang lebih terdapat 33 juta hektar yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Dari luasan yang ada tersebut, sekitar 6 juta hektar diantaranya cukup potensial untuk pengembangan pertanian. Namun dari luasan 6 juta tersebut masih sekitar 554.000 hektar saja yang cocok untuk ditanami tanaman padi dengan hasil rata-rata 1.5 ton/ha. Rendahnya produktivitas padi di lahan pasang surut disebabkan karena tingkat kemasaman tanah yang tinggi, keracunan zat besi, alumunium, salinitas tinggi serta kekahatan unsur P dan Zn.

Lahan pasang surut terbagi kedalam empat macam yaitu lahan potensial, lahan sulfat asam, lahan gambut, lahan salin dan lebak atau rawa non pasang surut (Noor, 2004). Batasan pembagian tipologi lahan dan kendala pengembangan masing-masing adalah sebagai berikut:
Lahan potensial adalah lahan rawa yang mempunyai jenis tanah sulfat masam potensial dengan kadar pirit < 2% pada jeluk > 50 cm dari permukaan tanah. Kendala produksi tergolong kecil karena mutu tanah tidak termasuk bermasalah.
Lahan sulfat masam adalah lahan yang mempunyai lapisat pirit pada jeluk < 50 cm yang juga disebut tanah sulfat masam potensial dan semua jenis tanah sulfat masam aktual. Berdasarkan asosiasinya dengan gambut dan tingkat salinitasnya maka lahan sulfat masam ini dapat dibagi dalam lima tipologi. Berdasarkan jeluk pirit, tingkat keasaman, dan intensitas oksidasi pirit lahan sulfat masam dapat dibagi menjadi enam tipologi lahan. Kendala produksi pada jenis tipologi ini tergolong sedang sampai sangat berat.
Lahan gambut adalah lahan yang terbentuk dari bahan organik berupa: (1) bahan jenuh air dalam waktu lama atau telah diatus dengan kadar bahan organik paling sedikit 12%, tanpa kandungan lempung atau paling tidak 18% apabila mengandung lempung paling tinggi 60%, atau (2) bahan tidak jenuh air selama kurang dari beberapa hari dengan kadar bahan organik paling sedikit 20%. Berdasarkan ketebalan gambutnya, lahan gambut dapat dibagi menjadi gambut dangkal, sedang, dalam, dan sangat dalam. Kendala produksi pada jenis tanah ini tergolong sedang sampai sangat berat.
Lahan salin atau lahan pantai adalah lahan rawa yang terkena pengaruh penyusupan air laut atau bersifat payau, yang dapat termasuk lahan potensial, lahan sulfat masam, atau lahan gambut. Penyusupan air laut ini paling tidak selama 3 bulan dalam setahun dengan kadar natrium (Na) dalam larutan tanah 8-15%. Berdasarkan tingkat salinitasnya, lahan salin dapat dibagi menjadi tiga tipologi, yaitu salin ringan, sedang, dan sangat salin. Kendala produksi pada jenis lahan ini sedang sampai sangat berat terutama dalam hal salinitas.
Lahan lebak atau rawa nonpasang surut adalah lahan rawa yang mengalami genangan minimal setebal 25-50 cm dengan lama genangan paling sedikit tiga bulan dalam setahun. Lahan lebak ini dibagi berdasarkan tinggi dan lama genangan menjadi empat tipologi, yaitu lebak dangkal (pematang), lebak tengahan, lebak dalam, dan lebak sangat dalam (lebung). Kendala produksi pada jenis lahan ini sedang sampai sangat berat, terutama dalam pengendalian air saat musim hujan. Menurut (Evenson et al., 1996) masih banyak faktor-faktor biofisik yang mempengaruhi kehilangan hasil potensial dari suatu pertanaman padi. Pada ekosistem padi sawah misalnya, nilai kehilangan sebesar 20% dari rata-rata produksi per ha, hingga nilai kehilangan sbesar 40 % pada lahan-lahan di pegunungan. Dari hasil penelitian Evenson et al. (1996) terlihat bahwa cekaman abiotik lebih dominan dalam mengurangi hasil panenan dibandingkan cekaman biotik untuk pertanaman padi (Tabel 1).


Tabel 1. Kehilangan Hasil Akibatkan Hambatan Teknis dalam Pertanaman Padi pada Beberapa Eksosistem di ASIA (Evenson et al., 1996)Faktor Penghambat Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Genangan Pegunungan Rata-Rata
………………………………………………….. kg/ha ……………………………………………. (%)
Biotik
Penyakit 69 146 18 70 83 3.1
Serangga 108 166 16 65 110 2.3
Hama selain serangga 29 88 21 120 52 1.4

Abiotik
Air 400 288 429 227 358 9.9
Tanah 356 75 13 80 229 6.4

Total 962 763 496 563 833 23

Persentase kehilangan 20 33 33 40 23




Cekaman biotik sebagai penghambat pengembangan pertanian di wilayah tropis

Interaksi antara tanaman budidaya, tanaman lain, serangga, fungi, bakteri seringkali diperlukan dalam sistem pertanaman, namun demikian interaksi yang bersifat negatif yang menyebabkan tanaman budidaya mengalami tekanan/cekaman dan berakibat menurunnya laju pertumbuhan dan produksi bahkan dapat mematikan tanaman budidaya. Hal ini menyebabkan cekaman biotik dianggap dapat menghambat pengembangan pertanian di tropis.

Sumber cekaman biotik secara garis besar adalah serangga, penyakit, dan gulma. Masing-masing sumber memberikan interaksi negatif kepada tanaman dengan mekanisme yang berbeda pula. Demikian pula dengan tanaman akan menghasilkan respon fisiologis pertahanan terhadap cekaman biotik dari tiap sumber yang berbeda-beda.

Cekaman penyakit

Penyakit adalah penyimpangan dari sifat normal yang menyebabkan tumbuhan atau bagian tumbuhan tidak dapat melakukan kegiatan fisiologi secara normal. Dampak dari hal tersebut adalah tumbuhan tidak mampu memberikan hasil yang cukup secara kuantitas maupun kualitas. Penyakit tumbuhan dapat menimbulkan kerugian lewat beberapa jalan baik berupa kerugian langsung yang dirasakan oleh penanam yang berupa pengurangan kuantitas maupun kualitas hasil, peningkatan biaya produksi, dan pengurangan kemampuan usaha tani. Kerugian yang diderita secara tidak langsung seperti rangkaian kerugian yang diderita oleh masyarakat seperti harga konsumen yang tinggi akibat faktor produksi yang tinggi atau adanya kelangkaan barang sehingga mempengaruhi lesunya kegiatan perekonomian dalam arti yang semakin luas.

Interaksi antara inang dengan patogen sering disebut dengan konsep gene to ­gene. Interaksi antar inang dan patogen secara spesifik ditentukan oleh interaksi avirulen gen yang dihasilkan oleh patogen dan resisten gen pada tanaman. Intraksi ini sering dikaitkan juga dengan adanya faktor lingkungan sehingga muncul konsep penyakit tumbuhan yaitu konsep segitiga penyakit. Dalam konsep ini diketahui bahwa terjadinya penyakit tumbuhan sangat ditentukan oleh tiga faktor yaitu faktor lingkungan, tumbuhan inang, dan patogen.

Penyakit akan terjadi apabila ada tumbuhan yang rentan, patogen yang virulen dan faktor lingkungan yang mendukung untuk perkembangan patogen tetapi menghambat pertumbuhan inang. Pada level yang lebih tinggi terdapat faktor lain yaitu campur tangan manusia sehingga konsep segitiga penyakit berubah menjadi segi empat penyakit dimana manusia dapat mengatur tanaman inang (pemilihan varietas), mempengaruhi faktor lingkungan dengan merekayasa lingkungan tumbuh, dan mempengaruhi faktor patogen dengan berbagai usaha pengendaliannya.

Jenis-jenis penyakit yang menyerang tanaman pertanian di tropis sangat banyak jenisnya berikut ragam/variannya. Sekali lagi ini akibat dari faktor abiotik yang sangat mendorong tumbuh dan berkembangnya berbagai organisme di bumi Indonesia.


Cekaman hama

Kerusakan yang ditimbulkan hama pada tanaman dapat bersifat: (1) langsung, (2) tidak langsung, (3) sebagai sarana transmisi patogen penyakit. Secara langsung, hama dapat merusak bagian tanaman dengan cara merusak daun sehingga fotosintesis terganggu dengan cara memakan, menggulung dan mengorok daun; memakan tunas/pucuk titik tumbuh bunga dan buah muda, memakan bunga, buah, benih; menggerek batang tanaman berkayu; memakan akar; menggerek umbi sehingga cadangan makanan berkurang.

Selain itu juga terdapat hama yang menyerang dengan cara menghisap cairan tumbuhan sehingga vigor tanaman hilang dan menjadi layu, dan kerdil; menyebabkan daun keriting dan tidak berbentuk; menyebabkan daun gugur prematur; menyebabkan skarifikasi daun dan buah karena putusnya sel epidermis dan hilangnya cairan; air liur beracun yang dikeluarkan oleh Heteroptera dapat menyebabkan buah gugur prematur pada kelapa, aborsi buah kapas muda akibat Calidea, kematian bunga dan pengurangan produksi benih akibat kumbang kopi serta nekrosis batang; memfasilitasi infeksi cendawan dan bakteri patogen misalnya Dysdercus, Nezara dan Calidea spp yang memfasilitasi cendawan Nematospora pada buah kapas.

Kerusakan tidak langsung pada tanaman yang terjadi karena serangga membuat tanaman lebih sulit untuk dibudidayakan dan dipanen, misalnya Erias spp pada kapas yang menyebabkan tanaman tumbuh menyebar sehingga menyulitkan penyiangan dan penyemprotan. Hama juga dapat menunda kematangan tanaman. Serangan hama menyebabkan kontaminasi dan hilangnya kualitas tanaman. Hilangnya kualitas terjadi karena pengurangan nilai gizi dan daya jual pasar (mengurangi grade). Pengaruh lainnya adalah rusaknya penampilan hasil panen dan kontaminasi oleh kotoran hama.Transmisi mekanis atau pasif terjadi pada luka di kutikula akibat serangan hama. Patogen biasanya terbawa pada belalai hama atau di atas tubuh serangga penggerek.

Sebagian besar virus ditransmisi oleh vektor serangga. Vektor ini biasanya merupakan inang intermediate yaitu sebagian besar kutu daun dan lalat putih. Virus yang biasa ditularkan adalah daun keriting pada kapas (cotton leaf roll), mosaik singkong, mosaik tembakau dan virus kerdil pisang (banana bunchy top).


Cekaman gulma

Cekaman biotik yang berikutnya adalah cekaman dari gulma. Gulma sering didefinisikan sebagai tanaman yang tidak diharapkan yang tumbuh pada lahan pertanian. Gulma dapat merugikan karena dapat menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas hasil panen. Penurunan kuantitas hasil panen terjadi melalui dua cara yaitu pengurangan jumlah hasil yang dapat dipanen, dan penurunan jumlah individu tanaman yang dipanen. Potensi gulma di lahan tropis sangat tinggi dibandingkan dengan daerah sub tropis.

Hal ini disebabkan keragaman jenis tumbuhan (termasuk gulma) di daerah tropis sangat tinggi dibandingkan daerah sub tropis. Indonesia, sebagai salah satu pusat keragaman plasma nutfah (mega biodiversity) tertinggi di dunia setelah Brazil, memiliki sekitar 28 000 jenis tumbuhan (Sutrisno, 2005). Disamping sebagai sumber keragaman genetik, ratusan jenis di antara ribuan jenis tumbuhan tersebut juga berpotensi sebagai gulma. Menurut Qasem dan Foy (2001) dalam Chozin (2006), terdapat 239 jenis gulma yang berpotensi alelopati, dan masih terdapat ratusan jenis gulma lainnya yang mekanisme interaksinya dengan tanaman belum diketahui.

Berdasarkan sifat persaingannya, gulma dibedakan menjadi tiga golongan yaitu: 1. Grasses (rumput), umumnya termasuk Famili Gramineae, mempunyai batang bulat atau agak pipih dan berongga. Daun-daun soliter pada buku, tersusun dalam dua deretan, bertulang daun sejajar dan terdiri atas pelepah daun serta helaian daun.2. Sedges (teki), termasuk Famili Cyperaceae yang mempunyai batang berbentuk segitiga atau bulat dan tidak berongga. Daun-daun tersusun dalam tiga deretan.3. Broad leaves (berdaun lebar), termasuk golongan Dicotyl atau paku-pakuan (Pteridophyta). Daun lebar dengan tulang daun berbentuk jaringan. Kondisi iklim tropis yang panas dan cahaya matahari yang melimpah sangat mendukung untuk perkembangan gulma di Indonesia. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya dominasi gulma dari jenis rumput-rumputan, teki dan gulma berdaun lebar yang mendominasi pada areal lahan pertanian.

Menurut Mercado (1979), jenis-jenis gulma yang tumbuh cepat, penyebarannya luas dan memiliki metabolisme yang efesien akan menjadi gulma yang berbahaya. Di Indonesia gulma jenis rumput-rumputan dari golongan C4 berpotensi untuk menjadi gulma yang berbahaya karena kemampuannya untuk berkompetisi dengan tanaman dan gulma lainnya dalam memanfaatkan cahaya matahari. Gulma dari golongan C4 akan sangat efesien dalam memanfaatkan cahaya matahari untuk fotosintesa. Disamping itu gulma dari jenis rumput-rumputan juga dapat tumbuh dengan cepat dan menyebar luas dengan bijinya. Disamping itu, gulma yang mempunyai pertumbuhan mirip dengan tanaman akan menimbulkan kompetisi yang lebih berat dari pada gulma lainnya.

Gulma jenis rumput-rumputan yang umum terdapat pada lahan pertanian di Indonesia adalah Leptochloa chinensis, Echinocloa crusgalii, Paspalum distichum, Panicum repens, Echinocloa colonum dan Digitaria sanguinalis.Golongan gulma lainnya yang cukup penting adalah jenis teki. Hal ini disebabkan beberapa jenis teki mampu menghasilkan 10 000 biji per tanaman dan tidak memiliki dormansi sehingga biji dapat langsung berkecambah. Beberapa contoh jenis gulma golongan teki adalah Cyperus iria, C. rotundus, C. difformis dan Fimbristylis littoralis.Gulma berdaun lebar juga cukup berbahaya karena kemampuannya untuk menurunkan hasil pada tanaman lebih besar dibandingkan jenis gulma lainnya (Chozin, 2006). Jenis-jenis gulma berdaun lebar diantaranya adalah Ludwigia octovalvis, Ipomea aquatica, Ageratum conyzoides, Alternanthera philoxeroides, Lindernia angustifolia, M. vaginalis, S. zeylanica dan Leersia hexandra.

Kehilangan hasil yang ditimbulkan akibat gulma pada tanaman pertanian dapat mencapai 16 – 87 % (Deptan, 2001). Kerugian akibat gulma ini dapat secara langsung atau tidak langsung. Pengaruh secara langsung diakibatkan adanya hubung/interaksi antara gulma dengan tanaman yang mengakibatkan terjadinya penurunan hasil pada tanaman. Sebagai contoh kompetisi gulma dengan tanaman bawang merah dapat mengakibatkan penurunan hasil sebesar 27.63 % - 46.84 % (Utomo et al., 1986). Sedangkan pengaruh secara tidak langsung diakibatkan adanya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengendalian gulma sehingga mengurangi keuntungan yang diterima.

Menurut Utomo dan Tjitrosoedirdjo (1984), biaya tenaga kerja untuk penyiangan gulma pada tanaman bawang merah di Brebes mencapai 65 % dari total biaya produksi.Besarnya Kerugian atau kehilangan hasil yang diakibatkan oleh gulma berbeda beda untuk setiap jenis tanaman tergantung dari jenis tanaman, jenis gulma dan faktor-faktor pertumbuhan yang mempengaruhinya (Chozin, 2006). Menurut Smith (1983) dalam Susilo, 2004), kehilangan hasil akibat gulma pada tanaman padi ditentukan efesiensi kompetisi antara padi dan gulma, jenis gulma, tingkat kesuburan tanah, varietas padi, alelopati, pengelolaan air, jarak tanam, kepadatan gulma dan cara tanam.


Kaitan antara faktor abiotik dan biotik dalam mempengaruhi serangan patogen

Salah satu upaya untuk dapat mengendalikan cekaman biotik adalah mengetahui ekofisiologi tanaman. Diantaranya adalah ekologi hama, penyakit dan gulma, pengaruh/kaitan antara faktor abiotik dan biotik terhadap serangan patogen, serta mempelajari mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan patogen (fisiologi cekaman). Dengan mengetahui mekanisme tersebut, diharapkan pengendalian yang akan dijalankan dapat lebih mengedepankan prinsip keseimbangan ekologis.

Kejadian penyakit hanya dapat terjadi jika ada interaksi antara patogen, tumbuhan inang, dan faktor lingkungan pada penyakit. Pola yang sama juga dapat berlaku untuk hama dan gulma. Dengan demikian faktor lingkungan (ekologi) sangat menentukan tingkat kejadian serangan/kerugian dan penyebaran hama. Beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi penyebaran patogen, hama, dan gulma menyerupai faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan tanaman pada umumnya termasuk tanaman budidaya yaitu suhu, kelembaban, cahaya matahari, tanah, dan ketersediaan air.

Sangat penting untuk mengetahui bagaimana faktor-faktor tersebut dalam pengembangan pertanian. Faktor-faktor abiotik secara langsung akan mempengaruhi serangan dan penyebaran penyakit. Bahkan faktor abiotik seringkali juga menghasilkan gejala-gejala yang mirip dengan penyakit. Misalkan pecah buah pada tomat yang sebenarnya merupakan penyakit fisiologis karena faktor air seringkali disalah artikan sebagai penyakit akibat hama atau penyakit sehingga dalam penangannya digunakan pestisida atau fungisida. Keterkaitan antara faktor biotik sebagai agent (penyebab) penyakit ditampilkan pada Tabel 2.



Tabel 2. Agen abiotik yang mempengaruhi penyakit tanamanAgen Faktor Pengaruh dan gejala
Nutrisi Kekurangan Gejala sistemik, discoloration, layu. Nitrogen chlorose; phosphorus bluish-green discoloration, calcium blossom end rot. Potassium low drought resistance, layu, stunting.
Kelebihan Kelebihan nitrogen mengurangi ketahanan terhadap penyakit. Mangan menjadi bronzing, magnesium terjadi klorosis
Temperatur (suhu) Terlalu tinggi Scorching of leaves, sun scald on fruit, heat cankers. Layu, penghambatan tumbuh, stunting.
Terlalu rendah Frost injury
Kelembaban Rendah Layu, hangus
Terlalu tinggi Root rot, dieback
Polusi Asmosfer Ozon (O3), sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NO2), peroksi asetil nitrat (PAN) menyebabkan pengungingan, dieback
Air Discoloration
Tanah Discoloration, penguningan
Tanah pH Terlalu basa sering diikuri dengan peningkatan kerentanan tanaman terhadap serangan penyakit
Level air tanah Root rot, klorosis, meningkatkan kerentanan terhadap penyakit tertentu (black sigatoka pada pisang)
Kekompakan Penguningan, stunting
Salinitas Stunting, burned root, dieback
Logam berat Discoloration, stunting
Pestisida Kelebihan dosis Nekrosis, discoloration
Herbisida Kesalahan penggunaan dapat menyebabkan klorotik, nekrotik, pertumbuhan terganggu dan root stunted.
Radiasi Terlalu tinggi Dieback, peningkatan populasi tanaman parasit
Terlalu rendah Peningkatan kerentanan terhadap penyakit
Budidaya (Agronomis) Kesalahan budidaya Pelukaan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit, kesalahan waktu tanam



Sebagai contoh pada pertanaman karet, infeksi kanker garis (Phytophthora palmivora) selalu terjadi dalam cuaca yang basah karena dibantu oleh hujan dan suhu yang sejuk. Pada musim kemarau jarang terjadi infeksi (Semangun, 1991). Dengan demikian dapat diperkirakan faktor-faktor lain yang memicu kelembaban tinggi dapat membantu infeksi dan penyebaran penyakit. Nitrogen dilaporkan berkaitan erat dengan kejadian penyakit. Pada tanaman kelapa sawit, kekurangan nitrogen lebih rentan terhadap penyakit. Namun pemberian nitrogen yang berlebihan dilaporkan juga membawa dampak terhadap peningkatan serangan Sclerotium oryzae pada tanaman padi (Semangun, 1993).

Pada tanaman ubi kayu, pemupukan NPK yang optimum terbukti dapat mengurangi beratnya penyakit (Terry, 1977), dan di Indonesia terbukti bahwa pemupukan NPK dan bahan organik dapat meningkatkan ketahanan tanaman (Nunung, 1985; Yahya, 1987).Perubahan iklim dan tanah saja dapat berpengaruh terhadap penyebaran serangga dan penyakit sehingga sangat beresiko bagi pertanian yang menggunakan pola monokultur. Kenaikan suhu dapat mengakibatkan batasan suatu organisme untuk tumbuh menjadi terbuka. Perkembangan strain bakteri, virus dan serangga yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia misalnya malaria, demam dengue diduga juga terjadi akibat kenaikan temperatur harian rata-rata di Indonesia. Fenomena seperti ini dapat dipetakan dan dilengkapi dengan informasi-informasi permukaan bumi (Saefuddin dan Maharijaya, 2006).

Penyakit dapat disebarkan oleh berbagai vektor, salah satunya adalah hama. Spesies hewan yang tidak berbahaya dapat menjadi hama dengan adanya perubahan ekologi misalkan dengan adanya tanaman budidaya yang rentan terhadap spesies hewan tersebut. Perubahan ekologi utama yang dapat menyebabkan perubahan status tersebut adalah:

Karakter persediaan makanan.

Tanaman yang dibudidayakan di lahan pertanian umumnya sudah terpilih dari segi kandungan gizinya serta biasanya berukuran besar dan sukulen, terutama buah atau benih yang besar. Jagung dan sorgum tentunya merupakan sumber makanan yang lebih menarik perhatian hama penggerek batang daripada rumput. Tanaman kubis budidaya pun lebih menarik perhatian ulat daripada kubis-kubisan liar.


Monokultur.

Teknik monokultur nampak mirip dengan kondisi klimaks dari beberapa vegetasi temperate alami, dimana suatu hamparan daerah yang luas didominasi oleh sedikit spesies tanaman. Serangan ulat pemakan daun yang luas terkadang terjadi pada pohon-pohon hutan di Amerika Utara dan Eropa, mirip dengan lahan budidaya yang terserang hama berat.



Teknik budidaya minimum.

Teknik budidaya minimum merupakan teknik pertanian dimana persiapan lahan diusahakan diminimalisir. Tindakan yang dilakukan adalah pemberian herbisida pada sisa tanaman dan gulma kemudian lahan ditanami tanaman tanpa pengolahan. Pada budidaya, tindakan penggarpuan dan pembajakan tanah dapat mengurangi hama tanah karena terkena cahaya matahari dan desikasi, juga membuat mereka lebih mudah diserang oleh predator dan parasit. Banyak hama Lepi­doptera dan Diptera memangsa bagian tajuk tanaman pada tahap larva namun berkepompong di tanah. Hama tanah ini dapat dikurangi jumlahnya dengan teknik budidaya biasa namun jumlahnya dapat meningkat pada lahan yang diolah secara minimal.


Multiplikasi habitat yang cocok.

Pertanian membuat lebih sedikit spesies tumbuhan yang hidup pada lahan dengan adanya seleksi tanaman yang cocok untuk dibudidayakan. Sehingga hama yang berasosiasi dengan tanaman ini memiliki sumber makanan yang lebih menarik dan terkonsentrasi. Contohnya adalah hama gudang yang terdapat dalam jumlah sedikit di lapangan menjadi melonjak di gudang karena iklim mikronya lebih cocok dan jumlah makanan lebih banyak.



Hilangnya spesies kompetisi.

Pada kondisi monokultur, banyak serangga yang dalam kondisi alami bukan hama kemudian berubah menjadi hama. Terkadang pengendalian spesifik dapat menghilangkan satu hama namun spesies lain yang lolos dari tekanan kompetisi dapat meningkat jumlahnya dan menjadi hama baru.



Perubahan hubungan inang/parasit.

Jika jumlah sebuah hama meningkat di lingkungan maka biasanya terdapat jeda waktu antara peningkatan ini dengan peningkatan jumlah predator/parasit. Se­makin lama jeda waktunya, maka spesies ini dapat menjadi hama penting. Sebagai contoh adalah tungau laba-laba merah (Metatetranychus ulmi) yang menjadi hama penting pada pohon buah di berbagai belahan dunia setelah dilaku­kannya penggunaan DDT pada skala luas di lahan pertanian. Penggunaan DDT ini telah membunuh predatornya.



Penyebaran hama dan tanaman budidaya oleh manusia

Hama dapat menjadi menetap dan tidak terkendali saat diintroduksikan ke negara yang awalnya tidak terdapat jenis hama tersebut. Hal ini terjadi karena di negara yang baru, tidak terdapat predator, parasit dan kompetitor makanan yang penting sehingga populasi hama baru meningkat secara dramatis.

Penutup

Disamping memiliki keunikan, keunggulan dan potensi pertanian yang tinggi, pengembangan pertanian di wilayah tropis juga dihadapkan pada berbagai cekaman abiotik dan biotik yang tinggi baik dalam hal kuantitas maupun ragamnya. Tanpa pengelolaan yang baik cekaman abiotik dan biotik akan dapat menurunkan tingkat produksi pertanian yang berujung pada terancamnya ketahanan pangan.

Tentunya tulisan ini belum mencakup semua cekaman yang ada pada permasalahan di Indonesia khususnya pertnain, dan tentunya masih ada cekaman-cekaman yang lain. Tantangan yang demikian besar, hendaknya memacu motivasi kita yang mencintai negeri ini untuk semakin menggeluti bidang kita untuk memecahkan berbagai cekaman tersebut jika kita mengakui mencintai Indonesia meskipun dari jauh, atau menerima hidup di negara yang bercekaman tinggi.Sebagai penutup, ada sebuah hadist yang relevan untuk kita semua, ”Siapa saja yang mengusahakan tanah mati menjadi hidup (dapat ditanami), baginya mendapatkan suatu ganjaran pahala. Dan makhluk apa pun yang mendapatkan makan darinya akan dihitung sebagai pahala baginya”(Hadist)

HAK PREROGATIF KEPALA DAERAH ? APA ADA

MARAK di media diberitakan daerah, penunjukan dan pengakatan pejabat. Disebutkan penunjukan dan pengangkatan pejabat, merupakan hak prerogative kepala daerah, artinya kepala daerah mempunyai hak penuh dalam menunjuk dan mengangkat pejabat, atau pembantunya. Sebenarnya yang mempunyai hak prerogative dalam mengangkat pejabat adalah presiden untuk mengangkat pejabat negara bawahannya (para menteri, dan penasehat), sedangkan untuk mengangkat Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, sudah tidak lagi hak prerogatif penuh, karena minta persetujuan DPR.
Presiden mengangkat meteri atau penasehatnya dapat berasal dari pegawai negeri, TNI/POLRI, politisi, orang buta hurufpun bias diangkat menjadi menteri atau penesehatnya, karena tidak ada peraturan atau undang-undang yang mengatur, tetapi mana ada presiden mau mengangkat pembantu yang buta huruf, ia akan malu, negara dan bangsa akan malu. Mungkin juga ada presiden yang mengangkat penasehat orang buta huruf atau tamat sekolah dasar, tetapi bukan untuk jabatan formal, tetapi untuk keperluan pribadi seperti ada penasehat spiritual, penasehat pribadi atau apapun sebutanya, tidak masalah secara hokum, mungkin juga pejabat negara punya penasehat “spiritual”
Di daerah Gubernur, Walikota, dan Bupati tidak punya hak prerogatif dalam mengangkat pejabat pembantunya, karena ada aturan ada syarat. Untuk jabatan eselon tertentu harus meminta persetujuan pejabat yang lebih tinggi seperti presiden, menteri dalam negeri, atau gubernur. Dalam aturan pejabat structural harus berpangkat lebih tinggi atau sama dengan pejabat pejabat bawahannya, harus memangku jabatan eselon dibawah sebanyak dua kali, jadi tidak sangat bebas ada aturan ketat yang melekat.
Karena seringnya pers menyebut “hak prerogative” kepala daerah, seolah terkesan pemilihan dan pengangkatan pejabat sudah merupakan hak prerogative sang kepala daerah, kalau Bapenjakat tidak berfungsi dengan baik, akan terangkat pejabat yang pangkat lebih tinggi, ini sudah melanggar undang-undang dan peraturan pemerintah.
Indonesia adalah negara kesatuan dengan system otonomi, bukan negara federal dengan negara bagian, yang kepala negara bagian ada sebutan menteri besar, gubernur, raja dan lain-lain yang punya hak prerogative dalam penunjukan dan pengankatan pejabat negara bagiannya, sekali kita tidak.
Awalnya memang dari pers yang mempopulerkan hak prerogative kepala daerah, mungkin awalnya untuk menyindir kepala daerah yang sembarangan mengangkat pejabat di daerah, di awal otonomi, tetapi istilah hak prerogatif sudah menjadi biasa, dulu ditulis “hak prerogatif” sekarang tanda petiknya sudah hilang, sehingga terkesan di masyarakat, dan mungkin dalam pikiran para kepala daerah itu, benar-benar hak prerogatif.
Seharusnya, dalam penunjukan pejabat bawahannya sesuai dengan peraturan yang berlaku termasuk proses penunjukan dan pengankatannya, sebaiknya pejabat yang diangkat pejabat yang kapabel, professional. Kapabel dan professional untuk pejabat eselon II, memang sulit mendapatkannya, karena pejabat eselon II, baru pada tingkat middle management, dimana kemampuan teknis dan kemampuan manegerialnya seimbang, tidak cukup hanya orang yang punya kemampuan manajerial saja yang kuat, tetapi kemampuan teknis rendah, karena jenjang kariernya, latar belakang pendidik, pengalaman, on job training yang dilalui rendah. Kadang kala modalnya hanya kedekatan pada pengambil keputusan, atau ada kepentingan tertentu. Kadang kala yang dicari pada orang yang “setia” pribadi kepada kepala daerah, tetapi belum tentu setia kepada “organisasi” dan “system” sehingga tidak berani berbeda pendapat kepada kepala daerah, tidak berani mengingatkan kepala daerah akan tersandung masalah, cendurung penjabat ini memberikan laporan asal bapak senang (ABS), karena modalnya disayang atasan, dan sangat takut kena marah dan suatu program kurang, belum atau tidak berhasil tidak bias menjelaskan kepada atasan, karena memang tidak memahami teknis. Dan kebanyakan sungkan mengikutsertakan pejabat lebih rendah yang menguasai teknis, kalau diikut sertakan kadang kala tidak diberikan hak mengeluarkan pendapat, karena ketahuan oleh atasan belangnya ia tidak menguasai teknis, sudah lama jadi pejabat, tidak mau belajar.
Kalau diangkat pejabat berdasarkan karier pada SKPD nya, juga sulit, belum tentu eselon dibawahnya punya kemapuan manajerial, yang baik, mungkin ada yang baik, tetapi tertutup oleh atasannya, sehingga kemampuan tidak terbaca oleh Bapejakat sehingga tidak terekrut, kasihan mereka.
Untuk mengatasi masalah yang dilematik tersebut, dapat ditempuh dengan pejabat yang dipilih oleh Bapejakat adalah dua orang dari SKPD, satu orang dari orang yang akan dimutasi. Calon ini diberi tahukan kepada yang bersangkutan, calon dari Bapejakat diminta menulis suatu makalah tentang organisasi yang akan dipimpinya selama 2 minggu untuk mempersiapkan diri, kemudian, Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, serta Sekda, melakukan fit and proper test, narasumber Kepala Bawasda, Bapedda, Kepala Biro Kepegawaian (sebagai nara sumber) dan tidak berhak member penilaian. Kalau jabatan tersebut membutuhkan keterampilan komunikasi berbahasa Inggris, makalah, Tanya jawab dilakukan dalam bahasa Inggris. Fit and proper test dilakukan didepan para calon, apapu hasilnya akan dapat diterima calon, karena tim yang melakukan fit and proper test, akan hati-hati dan objektif.
Kalau seperti diatas, akan hilang kesan pejabat eselon II jabatan politis, terekrut pejabat yang professional, Bapejakat sangat hati-hati menyampaikan usul calon, karena yang dinilai dalam fit and proper test adalah kinerja Bapejakat. Efek ganda dari ini akan meningkatkan kinerja SKPD, ada persaingan sehat diantara pejabat dibawah, yang pada gilirannya kinerja Pemda meningkat (Dasril Daniel, Jambi, 250109)