Senin, 07 Februari 2011

Air dalam Bahan Pangan

Oleh : Moh. Taufik
Ilmu dan Teknologi Pangan IPB

Air merupakan suatu senyawa yang terdiri dari dua atom hidrogen dan satu atom oksigen. Air tergolong senyawa polar karena terdapat ikatan polar yang tidak saling menetralkan antara kedua jenis atom penyusunnya. Ditinjau dari bilangan steriknya (SN), air mempunyai bilangan sterik empat yang terdiri dari dua atom hidrogen yang terikat pada atom pusat (atom oksigen) dan dua pasang elektron non ikatan pada oksigen (SN=2 +2). Hal ini menyebabkan distribusi elektron dari molekul air berupa tetrahedral, sedangkan geometri molekul seperti huruf V

Dalam bahan pangan seperti buah-buahan dan sayur-sayuran terkandung air yang berbeda-beda seperti buah apel yang mengandung kadar air 80%, nenas 87% dan tomat sekitar 95%. Sedangkan buah yang mengandung kadar air terbesar yaitu semangka yang mencapai 97% (Winarno,1992)

Peran air dalam bahan pangan dan pengolahannya sangat penting sekali, seperti:

1. Aktivasi Enzim dalam Bahan Pangan

Dalam bahan pangan, terdapat beberapa enzim yang hanya dapat bekerja jika ada air. Enzim tersebut tergolong enzim hidrolase seperti enzim protease, lipase, dan amilase

2. Pelarut Universal

Air merupakan senyawa polar yang hanya akan melarutkan senyawa yang polar. Senyawa-senyawa polar tersebut seperti garam (NaCl), vitamin (vitamin B dan C), gula (monosakarida, disakida, oligosakarida dan polisakarida) dan pigmen (klorofil).

3. Medium Pindah Panas

Dalam proses pengolahan pangan sering dilakukan pemasakan, dalam proses pemasakan tersebut digunakan kalor (panas). Kalor tersebut akan dihantarkan oleh air kebagian-bagian dalam bahan pangan secara merata, hal ini karena air mempunyai konduktivitas panas yang baik.

Selain itu adanya air juga akan mempengaruhi kestabilan bahan pangan selama proses penyimpanan. Hal ini karena kestabilan bahan pangan tergantung dari aktivitas mikroba pembusuk seperti kapang, kamir dan jamur. Sedangkan aktivitas mikroba tersebut membutuhkan aw (water activity) tertentu yang bersifat spesifik untuk tiap jenis mikroba.

Dalam ilmu pangan terdapat beberapa istilah yang terkait dengan air yaitu:

1. Kadar Air

Istilah kadar air banyak digunakan di industri karena lebih mudah dicerna oleh masyarakat awam. Kadar air merupakan jumlah total air yang dikandung oleh suatu bahan pangan (dalam persen) dan istilah ini tidak menggambarkan aktivitas biologisnya. Untuk menentukan kadar air suatu bahan, mula-mula bahan makan tersebut di ukur massanya (M1). Setelah itu bahan tersebut di keringkan (dengan oven) sampai massanya tidak berubah lagi, massa pada saat konstan dicatat sebagai massa dua (M2). Setelah dua data tersebut didapat maka kita dapat menentukan kadar air dalam bahan tersebut dengan menggunakan rumus

Kadar Air = ((M1-M2)/M1) x 100%

2. Kelembapan Relatif (RH)

Istilah ini menggambarkan kandungan air total yang dikandung oleh udara yang biasanya juga dinyatakan dalam persen. Untuk menentukan jumalah air yang dikandung di udara maka kita dapat menggunakan metode Kelembapan spesifik. Kelembapan spesifik adalah metode untuk mengukur jumlah uap air di udara dengan rasio terhadap uap air di udara kering. Kelembapan spesifik diekspresikan dalam rasio kilogram uap air, mw, per kilogram udara, ma .
Rasio tersebut dapat ditulis sebagai berikut:

x= mw/ ma

3. Ativitas Air (aw)

Istilah ini menggambarkan derajat aktivitas air dalam bahan pangan, baik kimia dan biologis. Nilai untuk aw berkisar antara 0 sampai 1 (tanpa satuan).
Untuk menentukan aw, terlebih dahulu kita harus tahu ERH (Equilibrium Relative Humidity) yang merupakan perbandingan antara tekanan udara dalam camber yang berisi garam (P) dan tekanan udara dari camber yang berisi bahan pangan (Po).

ERH = P/Po

Jika kita perhatikan, nilai perbandingan tersebut lebih kecil dari 1. Hal ini karena terjadi efek sifat koligatif akibat adanya garam dalam ruangan tersebut.
Suatu bahan yang akan kita tentukan awnya ditaruh dalam cember yang berisi garam (LiCl, MgCl2, NaI, NaCl, K2CrO4 dan K2Cr2O7) dan akan terjadi perubahan terhadap kadar air dan aw yang pada ahirnya akan mencapai kondisi kesetimbangan. Jika aw lebih besar dari ERH maka air akan dilepaskan ke udara sedangkan apabila aw produk lebih rendah dari ERH maka air di udara akan masuk ke bahan pangan tersebut. Kondisi kesetimbangan akan tercapai apabila kadar air bahan tidak berubah lagi (tidak ada mobilisasi air lagi).

aw=ERH/100

Aktivitas air menggambarkan jumlah air bebas yang dapat dimanfaatkan mikroba untuk pertumbuhannya. Istilah ini paling umum digunakan sebagai kriteria untuk keamanan pangan dan kualiatas pangan. Nilai aw minimum yang diperlukan tiap mikroba berbeda-beda seabagai contoh kapang membutuhkan aw > 0.7, khamir > 0.8 dan bakteri 0.9. Dari data tersebut dapat dilihat kapang paling tahan terhadap bahan pangan yang mengandung Aw rendah sedangkan bakteri paling tidak tahan terhadap aw rendah.



Dalam bahan pangan terdapat berbagai jenis atau tipe air. Berdasarkan derajat keterikatannya air dalam bahan pangan. Air dapat kita kelompokkan menjadi:

1. Air yang terikat secara fisik

Air jenis ini dapat dibagi lagi menjadi tiga jenis yaitu:
a. Air Kapiler
Air jenis ini terikat pada rongga-rongga kapiler dari bahan makanan
b. Air Terlarut
Air ini seakan-kan larut dalam bahan padat contohnya air gula dan air garam
c. Air adsorbsi
Air yang terkat pada permukaan bahan pangan dan daya ikatnya lemah serta mudah diputuskan.

2. Air yang terikat secara kimia

Air jenis ini dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Air Konstitusi
Air jenis ini terikat pada senyawa lain (bagian dari senyawa itu )seperti protein, karbohidrat dan akan dihasilkan apbila senyawa tersebut dihidrolisis.
b. Air Kristal
Air jenis ini terikat pada senyawa lain dalam bentuk H2O. Contohnya CaSO4.5H20

3. Air bebas
Air jenis ini disebut juga sebagai mobile atau free water dan mempunyai sifat air normal dan mudah terlepas.

Daftar Pustaka

Kusnandar,Feri. 2007. sled kimia pangan. Bogor: IPB
Staf pengajar kimia. 2005. kimia. Bogor: Ipb press
Winarno,FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
www.wateractivity.org

Aplikasi Konsep HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) di Industri

Oleh : Moh. Taufik
Ilmu dan Teknologi Pangan IPB

Indonesia sebagai negara berkembang yang ditandai dengan timbulnya industri skala kecil menengah. Industri tersebut cenderung lebih fokus pada “keuntungan maksimal” dan kurang memperhatikan aspek keselamatan para konsumennya. Hal ini bisa kita lihat terjadinya kasus-kasus keracunan makanan seperti yang terjadi pada murid kelas 5 SDN 44 Kalumbuak yang bernama Kumala sari, yang terbaring lemah di RSUD Sungai Sapiah, akibat mengkonsumsi sosis yang dibelinya dari rekan sekolahnya. Dari data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) tentang kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan tahun 2001-2006 menunjukkan peningkatan, baik dari jumlah kejadian maupun korban sakit dan meninggal dunia. Sepanjang tahun 2006 dilaporkan jumlah KLB mencapai 26 kasus dengan 11.745 orang yang mengkonsumsi makanan dan 4.235 orang jatuh sakit serta 10 meninggal dunia.

Menurut Winarno yang pernah menjabat sebagai Ketua Codex Alimentarius lembaga standarisasi keamanan produk pangan dunia dan pernah menjadi dosen di ilmu dan teknologi pangan IPB mengatakan bahwa "Kasus keracunan makanan terbesar atau sekitar 90 persen terjadi akibat kontaminasi makanan dari mikroba, dan sisanya keracunan lainnya yang diantaranya kurang dari satu persen akibat BTP". Dari data-data tersebut menunjukkan buruknya sistem pengolahan di industri.

Sebenarnya, pemerintah Indonesia mempunyai Undang-undang yang mengatur tentang keamana pangan yaitu undang-undang No.7 tahun 1996 Bab II pasal 4 dan pasal 5 dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa “Pemerintah menetapkan persyaratan sanitasi dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan” sehingga seharusnya industri makanan di Indonesia menerapkan konsep HACCP mulai dari proses produksi bahan baku sampai produknya ketangan konsumen.

Pemerintah melalui Badan POM RI menerapkan konsep pengawasan keamanan yaitu pengawasan keamanan pangan secara total (total food safety control). Hal ini mutlak dilakukan karena masalah keamanan pangan dapat terjadi di mana saja dari mulai pangan dibudidayakan hingga siap dikonsumsi. Dengan demikian perlu kerja sama yang erat antara pihak-pihak yang terkait dengan keamanan pangan. Selain peran instansi pemerintah, peran industri dan konsumen tidak kalah pentingnya, karena meningkatkan keamanan pangan adalah tugas dan tanggung jawab bersama. Konsep total food safety control dituangkan dalam Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT). SKPT adalah forum kerja sama antarinstansi terkait untuk memantapkan program keamanan pangan di Indonesia. Lembaga-lembaga (stakeholders) yang terkait dalam sistem ini adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pendidikan Nasional, Badan Standarisasi Nasional, Pemerintah Daerah, universitas-universitas, lembaga-lembaga penelitian, laboratorium pemerintah dan swasta, asosiasi industri dan perdagangan, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lain-lain.

Sistem keamanan pangan terpadu terdiri dari tiga jejaring, yaitu:

1. Jejaring Intelijen Pangan - berdasarkan kajian risiko dengan sekretariat
Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Deputi III, Badan POM RI.

2. Jejaring Pengawasan Pangan - berdasarkan manajemen risiko dengan sekretariat Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, Deputi III, Badan POM RI.

3. Jejaring Promosi Keamanan Pangan - berdasarkan komunikasi risiko dengan sekretariat Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Deputi III, Badan POM RI Pihak-pihak terkait sesuai dengan tugas dan bidangnya mengelompokkan diri ke dalam tiga jejaring di atas dan bersinergi satu sama lain untuk meningkatkan dan mengoptimalkan kegiatan yang berkaitan dengan analisis risiko di atas.

Dalam industri dikenal konsep HACCP yang seharusnya diterapkan untuk menjaga kualitas produk yang dihasilkan. HACCP merupakan suatu sistem dalam pengolahan makanan yang mengidentifikasi bahaya spesifik yang mungkin timbul dan cara pencegahannya untuk mengendalikan bahaya tersebut (Lestari, 2008). Sedangkan menurut Bukhori (2008), HACCP merupakan sistem manajemen keamanan pangan, yaitu sebuah upaya untuk mengelola pangan dengan jalan mengurangi resiko kontaminasi mulai dari pemanenan, proses produksi hingga penyajian agar produk aman dikonsumsi. HACCP berawal dari pengembangan pangan untuk program antariksa pada Badan Badan Antariksa Amerika atau NASA pada tahun 1968 dan Indonesia mulai menerapkan pada tahun 1998 dengan nama Standar Nasional Indonesia dengan nomor SNI 01−4852−1998 tapi hingga kini Indonesia belum mewajibkan sistem HACCP ini pada semua level industri pangan. Adapun tujuan umum diterapkannya HACCP di industri yaitu untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui makanan (“Food borne disease”). Dengan diterapakan konsep HACCP ini diharapkan terjadinya peningkatkan jaminan food safety dan penurunan kasus keracunan karena pengolahan makanan yang tidak tepat.

Dasar−Dasar Penerapan HACCP

Untuk dapat menerapkan sistem analisa bahaya dan pengontrolan titik−titik kritis atau yang lebih dikenal dengan HACCP maka penyelenggara usaha makanan dan minuman harus memahami dasar−dasar lahirnya sistem HACCP tersebut. Terdapat 7 pilar yang membangun lahirnya sistem HACCP, antara lain;

1. Identifikasi Potensi Bahaya

Terdapat tiga potensi bahaya yang perlu dikenali yaitu bahaya fisika, kimia dan mikrobiologi.
Bahaya fisika berupa benda asing, kerikil, besi, jarum, peniti dll.
Bahaya kimia berupa; racun, bahan tambahan pangan yang tidak dianjurkan (formalin, metanil yellow, Rhodamin B dll)
Bahaya mikrobiologi berupa bakteri patogen (bakteri penyebab penyakit bagi manusia)

2. Tentukan Titik Kendali Kritis (CCP)

Titik Kendali kritis atau Critical Control Point (CCP) merupakan tahapan dalan rangkaian proses penyelenggaraan makanan yang harus dikontrol. Tahapan kritis ini harus diketahui dan dikontrol agar tidak terjadi kontaminasi pada pangan yang hendak diproduksi. Jadi CCP ini berhubungan dengan keamanan pangan.

3. Tentukan Batas−batas Kritis

Batas kritis (critical limit) adalah batas maksimum atau minimum dari setiap CCP atau merupakan toleransi yang harus dipenuhi agar menjamin CCP efektif dalam mengendalikan bahaya fisika, kimia dan biologi

4. Pembuatan Sistem Pemantauan

Adanya sistem pemantauan ini memungkinan seorang penyelenggara makanan minuman untuk memastikan bahwa pelaksanaan sistem HACCP tetap berjalan atau berhenti. Sistem pemantauan ini memuat tata cara dan langkah−langkah penting dalam menjaga konsistensi hasil sistem HACCP. Selanjutnya sistem Pemantauan ini disebut dengan SOP (Standart Operational Prosedure)

5. Pembuatan Prosedur Tindakan Koreksi

Terjadinya deviasi (tidak sesuai dengan rancangan produksi) merupakan hal mungkin terjadi di lapangan, maka perlu ada prosedur tindakan koreksi. Prosedur Tindakan Koreksi ini berisikan langkah−langkah atau tindakan−tindakan yang harus dilakukan pada saat hasil pemantauan menunjukan adanya penyimpangan yang tak terkendali dari hasil yang diharapkan.

6. Pembuatan Prosedur Verifikasi

Setelah Prinsip kelima dibuat berikutnya perlu dibuat pedoman atau ckeck list untuk memastikan sistem HACCP berjalan dengan benar

7. Pembuatan Dokumentasi dan Pencatatan

Setiap penyelenggaraan makanan dan minuman mesti mendomukentasikan dan membuat catatan terhadap segala kejadian yang berkaitan dengan sistem HACCP. Meskipun nampak sederhana bagian ketujuh merupakan bagian yang cukup sulit diantara prinsip yang lain

Daftar Pustaka
http://vm.cfsan.fda.gov
http://web.ipb.ac.id
http://www.bsn.or.id/kan
http://www.tempointeraktif.com
http://www.gizi.net
http://www.antara.co.id
http://www.lily.staff.ugm.ac.id

Konsep HACCP

Apa itu HACCP?

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap penanganan dan proses produksi. HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen.

Tujuan dari penerapan HACCP dalam suatu industri pangan adalah untuk mencegah terjadinya bahaya sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu pangan guna memenuhi tututan konsumen. HACCP bersifat sebagai sistem pengendalian mutu sejak bahan baku dipersiapkan sampai produk akhir diproduksi masal dan didistribusikan. Oleh karena itu dengan diterapkannya sistem HACCP akan mencegah resiko komplain karena adanya bahaya pada suatu produk pangan. Selain itu, HACCP juga dapat berfungsi sebagai promosi perdagangan di era pasar global yang memiliki daya saing kompetitif.

Pada beberapa negara penerapan HACCP ini bersifat sukarela dan banyak industri pangan yang telah menerapkannya. Disamping karena meningkatnya kesadaran masyarakat baik produsen dan konsumen dalam negeri akan keamanan pangan, penerapan HACCP di industri pangan banyak dipicu oleh permintaan konsumen terutama dari negara pengimpor.

Penerapan HACCP dalam industri pangan memerlukan komitmen yang tinggi dari pihak manajemen perusahaan yang bersangkutan. Disamping itu, agar penerapan HACCP ini sukses maka perusahaan perlu memenuhi prasyarat dasar industri pangan yaitu, telah diterapkannya Good Manufacturing Practices (GMP) dan Standard Sanitation Operational Procedure (SSOP).

Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh suatu industri pangan dengan penerapan sistem HACCP antara lain meningkatkan keamanan pangan pada produk makanan yang dihasilkan, meningkatkan kepuasan konsumen sehingga keluhan konsumen akan berkurang, memperbaiki fungsi pengendalian, mengubah pendekatan pengujian akhir yang bersifat retrospektif kepada pendekatan jaminan mutu yang bersifat preventif , dan mengurangi limbah dan kerusakan produk atau waste .
SEJARAH HACCP

Konsep HACCP pertama kali dikembangkan ketika perusahaan Pillsbury di Amerika Serikat bersama-sama dengan US Army Nautics Research and Development Laboratories, The National Aeronautics and Space Administration serta US Air Force Space Laboratory Project Group pada tahun 1959 diminta untuk mengembangkan makanan untuk dikonsumsi astronot pada gravitasi nol. Untuk itu dikembangkan makanan berukuran kecil ( bite size ) yang dilapisi dengan pelapis edible yang menghindarkannya dari hancur dan kontaminasi udara. Misi terpenting dalam pembuatan produk tersebut adalah menjamin keamanan produk agar para astronot tidak jatuh sakit. Dengan demikian perlu dikembangkan pendekatan yang dapat memberi jaminan mendekati 100% aman.

Tim tersebut akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa, cara terbaik untuk mendapatkan jaminan tertinggi adalah dengan sistem pencegahan dan penyimpanan rekaman data yang baik. Konsep yang saat ini dikenal sebagai HACCP ini, jika diterapkan dengan tepat dapat mengendalikan titik-titik atau daerah-daerah yang mungkin menyebabkan bahaya. Masalah bahaya ini didekati dengan cara mengamati satu per satu bahan baku proses dari sejak di lapangan sampai dengan pengolahannya. Bahaya yang dipertimbangkan adalah bahaya patogen, logam berat, toksin, bahaya fisik, dan kimia serta perlakuan yang mungkin dapat mengurangi cemaran tersebut. Disamping itu, dilakukan pula analisis terhadap proses, fasilitas dan pekerja yang terlibat pada produksi pangan tersebut.

Pada tahun 1971, untuk pertama kalinya sistem HACCP ini dipaparkan kepada masyarakat di negara Amerika Serikat di dalam suatu Konferensi Nasional Keamanan Pangan. Pada tahun berikutnya Pillsbury mendapat kontrak untuk memberikan pelatihan HACCP kepada badan Food and Drug Adminstration (FDA). Dokumen lengkap HACCP pertama kali diterbitkan oleh Pillsbury pada tahun 1973 dan disambut baik oleh FDA dan secara sukses diterapkan pada makanan kaleng berasam rendah.

Pada tahun 1985, The National Academy of Scienses (NAS) merekomendasikan penerapan HACCP dalam publikasinya yang berjudul An Evaluation of The Role of Microbiological Criteria for Foods and Food Ingredients. Komite yang dibentuk oleh NAS kemudian menyimpulkan bahwa sistem pencegahan seperti HACCP ini lebih dapat memberikan jaminan kemanan pangan jika dibandingkan dengan sistem pengawasan produk akhir.

Selain NAS, lembaga internasional seperti International Commission on Microbiological Spesification for Foods (ICMSF) juga menerima konsep HACCP dan memperkenalkannya ke luar Amerika Serikat. Ketika NAS membentuk The National Advisory Commitee on Microbiological Criteria for Foods (NACMCF), maka konsep HACCP makin dikembangkan dengan disusunnya 7 prinsip HACCP yang dikenal sampai saat ini. Konsep HACCP kemudian diadopsi oleh berbagai badan internasional seperti Codex Alimentarius Commission (CAC) yang kemudian diadopsi oleh berbagai negara di dunia termasuk Indonesia .