Rabu, 15 September 2010

Bank Pertanian Berbasis Syariah, Mengapa Tidak?

PEMBANGUNAN pertanian yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produktivitas usahatani dan nilai tambah produk serta distribusi hasil pertanian, sangat membutuhkan dukungan modal terutama modal dalam bentuk finansial. Namun masalahnya, modal finansial inilah yang seringkali menjadi kendala utama dalam usaha di bidang pertanian. Sementara itu, pihak perbankan belum memberikan dukungan optimal dalam meningkatkan jumlah penyaluran kredit dan kemudahan memperoleh pinjaman modal kepada sektor pertanian khususnya para petani kecil.

Petani sulit mendapatkan akses modal dari perbankan atau berbagai sumber-sumber keuangan resmi lainnya karena “birokrasi” perbankan dan sumber-sumber keuangan lainnya yang seringkali tak ramah petani. Ketidakramahan tersebut antara lain karena secara operasional di perdesaan bank-bank tidak mampu untuk membayar biaya-biaya informasi untuk memperoleh informasi dari calon nasabah dari golongan petani yang secara perbankan dapat dipercaya. Mahalnya biaya informasi serta biaya pemantauan yang perlu dikeluarkan oleh perbankan menyebabkan bank-bank tidak mampu untuk menjangkau golongan petani kecil di pedesaan. Dengan kondisi perbankan yang tidak mendukung, sektor pertanian sulit diharapkan berkembang dengan baik, meski sektor ini posisinya sangat strategis. Disamping itu juga seringkali mendorong petani untuk menjeratkan diri dalam perangkap rentenir yang menyediakan modal dengan cepat, tak berbelit-belit meskipun resikonya membayar bunga yang sangat tinggi.

Saat ini kredit perbankan yang dialokasikan ke sektor pertanian sangat kecil (kurang dari 15 persen total kredit yang disalurkan). Meskipun demikian menurut data-data yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia, khusus pembiayaan bank syariah ke sektor pertanian terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu tercatat pembiayaan di tahun 2006 sebesar Rp 701 miliar, lalu Rp 837 miliar di 2007, dan meningkat menjadi Rp 1,177 triliun di tahun 2008, namun proporsi pembiayaan untuk sektor pertanian ini masih belum sebesar pembiayaan ke sektor jasa, perdagangan, konstruksi, industri dan sebagainya.

Salah satu terobosan dalam rangka memberikan kemudahan memperoleh pinjaman modal dan sekaligus memacu peningkatan penyaluran kredit kepada sektor pertanian adalah mengaplikasikan pembentukan bank pertanian berbasis syariah.

Mengapa Sektor Pertanian?

Sampai saat ini, pertanian merupakan sektor yang paling penting di Indonesia. Sektor pertanian setidaknya merupakan penyokong utama perekonomian bangsa kita. Ada beberapa alasan mengapa kita tidak boleh mengabaikan sektor pertanian terkait dengan kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi bangsa ini. Setidaknya Johnston dan Mellor (1961) dalam Daryanto (2001) mengindentifikasikan 5 (lima) kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi. Pertama, sektor pertanian menghasilkan pangan dan bahan baku untuk sektor industri dan jasa. Jika peningkatan pangan dapat dipenuhi secara domestik, peningkatan suplai pangan ini dapat mendorong penurunan laju inflasi dan tingkat upah tenaga kerja, yang pada akhirnya diyakini dapat lebih memacu pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kebutuhan pangan yang berasal dari sumber-sumber domestik dapat menghemat devisa yang langka. Di samping itu, banyak sektor industri di negara berkembang yang kelangsungan hidupnya sangat tergantung kepada suplai bahan baku yang berasal dari sektor pertanian.

Kedua, sektor pertanian dapat menghasilkan atau menghemat devisa yang berasal dari ekspor atau produk substitusi impor. Perolehan devisa dari ekspor pertanian dapat juga membantu negara berkembang untuk membayar kebutuhan impor barang-barang kapital dan teknologi untuk memodernisasikan dan memperluas sektor non-pertanian. Melalui kontribusi ini, pembangunan sektor pertanian dapat memfasilitasi proses struktural transformasi.

Ketiga, sektor pertanian merupakan pasar yang potensial bagi produk-produk sektor industri. Sektor pertanian yang tumbuh dan berkembang sehat dapat menstimulasi permintaan terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri. Dalam hal ini, sektor pertanian menawarkan potensi konsumsi atau permintaan yang besar terhadap produk-produk sektor industri dan juga input-input pertanian yang dihasilkan oleh sektor industri, seperti misalnya pupuk, pestisida dan peralatan pertanian.

Keempat, transfer surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Perekonomian yang tumbuh dengan cepat dapat menstimulasi terjadinya pemindahan tenaga kerja dalam jumlah yang besar dan kontinyu dari sektor pertanian ke sektor industri yang umumnya berlokasi di daerah perkotaan.

Kelima, sektor pertanian dapat menyediakan modal bagi pengembangan sektor-sektor lain (a net outflow of capital for investment in other sectors). Bagi negara-negara yang ingin mengindustrialisasikan perekonomiannya, sektor pertanian dapat berfungsi sebagai sumber utama modal investasi. Oleh karena itu industrialisasi yang berhasil memerlukan dukungan yang kuat dari surplus yang dihasilkan oleh sektor pertanian.

Banyak Keuntungan

Konsep bagi hasil merupakan skema utama yang ditekankan oleh bank-bank syariah. Konsep seperti ini tentu sangat menguntungkan tidak hanya keuntungan secara ekonomi tetapi secara sosiologi pun sangat menguntungkan. Tradisi ini telah lama dikenal dalam berbagai kegiatan ekonomi masyarakat (tani) kita. Pada sektor pertanian –terutama padi dan palawijo –dikenal sistem maro, mertelu, maupun marapat. Sistem bagi hasil pertanian, terutama untuk tanaman padi berlangsung antara penggarap dan pemilik modal lahan dengan proporsi bagi hasil yang relatif beragam. Sistem ini tampaknya lebih cocok, karena hasil panen yang akan diperoleh akan dibagi menurut perjanjian dan curahan tenaga atau modal yang dikeluarkan, sehingga sistem bagi hasil ini lebih adil. Dengan demikian skema bank syariah lebih mudah di adaptasikan dan diaplikasikan dengan kebiasaan petani.

Keuntungan berikutnya, kalau orientasi terbesar dari bank syariah adalah pembiayaan pada usaha-usaha ekonomi riil, maka tak ada salahnya usaha di bidang pertanian mendapat porsi terbesar. Bank syariah mempunyai peran yang strategis sebagai lembaga intermediasi, antara surplus spending unit dengan deficit spending unit atau menghubungkan antara pasar modal (uang) dengan dunia usaha ekonomi riil khususnya pertanian yang seringkali mengalami kesulitan pembiayaan.

Selain itu, bank pertanian syariah juga bisa berperan menjadi semacam “pasar berjangka” pada produk-produk pertanian. Hal ini sangat memungkinkan dilakukan terutama melalui skema bai'as-salam (pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka). Dalam hal ini, bank menyalurkan pembiayaan dan berposisi sebagai pemesan barang yang diproduksi petani. Ketika masa panen tiba petani menyerahkan produksi pertanian kepada bank sesuai dengan yang telah disepakati. Tentu ini sangat menguntungkan, tidak saja pada kepastian produk tetapi juga untuk menjaga stabilitas harga.

Demikian juga dengan skema al-muzara'ah, yaitu kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan kepada penggarap untuk ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam dunia perbankan kasus ini diaplikasikan untuk pembiayaan bidang plantation atas dasar bagi hasil panen.

Sementara itu skema al-musaqah merupakan bagian dari al-muza'arah yaitu penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dengan menggunakan dana dan peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari persentase hasil panen pertanian. Jadi tetap dalam konteks kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap.

Itulah beberapa keuntungan yang akan dapat diperoleh dengan adanya bank pertanian berbasis syariah. Bank pertanian berbasis syariah merupakan solusi cerdas pembiayaan pertanian yang perlu ditindaklanjuti sehingga keberadaannya mampu mewujudkan pembiayaan yang mudah bagi para petani.

Namun, karena bank semacam ini orientasinya adalah masyarakat tani yang mayoritas di pedesaan, maka dalam penyaluran bantuan pembiayaan diperlukan pemahaman socio-culture masyarakat desa yang karakteristiknya pasti berbeda dengan masyarakat lainnya (baca: masyarakat kota). Dengan demikian bank-bank seperti ini akan menjadi idaman dan mudah diterima oleh masyarakat tani kita di pedesaan. Semoga!

Oleh : Junaedi Jombang