Rabu, 31 Maret 2010

apakah itu PRA (PARTICIPATORY RURAL APPRAISAL)

Prinsip Dasar Dan Informasi Yang Dikumpulkan Dalam Pelaksanaan PRA

2.1. Prinsip Dasar

PRA merupakan teknik pengumpulan informasi dan pengenalan kebutuhan masyarakat yang melibatkan secara langsung dan secara aktif partisipasi masyarakat. Dalam kaitan tersebut beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan dalam pelaksanaan PRA adalah
1.
Melibatkan seluruh kelompok masyarakat yang merupakan representasi masyarakat desa secara umum dalam pengenalan potensi sumber daya setempat, pemahaman permasalahan yang dihadapi, mengidentifikasi jenis inovasi yang dibutuhkan, dan merumuskan pentahapan kegiatan inovasi selama periode kegiatan Prima Tani. Kelompok masyarakat yang dimaksud meliputi: para petani, pedagang input, pedagang output, pengolah hasil pertanian, aparat desa, tokoh masyarakat, dan perwakilan lembaga pendukung agribisnis.
2.
Masyarakat setempat merupakan pelaku utama dalam pengenalan situasi, memilih jenis inovasi yang dikembangkan, dan merumuskan pentahapan kegiatan inovasi, sedangkan pihak luar (Tim PRA) hanya sebagai fasilitator. Pihak luar bukanlah guru, penyuluh atau instruktur masyarakat, tetapi berperan sebagai pembantu masyarakat dalam memahami situasi setempat, menganalisis situasi, dan mengambil keputusan atau kebijakan yang akan dilaksanakan. Pihak luar harus menempatkan masyarakat setempat sebagai nara sumber utama dalam memahami permasalahan mereka dan mau belajar dari masyarakat setempat.
3.
Menerapkan prinsip triangulasi yang merupakan bentuk cross check dan recheck informasi untuk mendapatkan informasi yang akurat. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang memiliki latar belakang yang beragam, melibatkan tim PRA dengan disiplin ilmu yang beragam, melakukan peninjauan lapangan dan memanfaatkan sumber informasi yang beragam pula (contoh: data sekunder yang diterbitkan lembaga formal, data hasil penelitian di lokasi setempat).
4.
Berorientasi praktis dalam pengertian pelaksanaan PRA tidak diarahkan untuk menggali informasi yang berada di luar jangkauan masyarakat desa meskipun memiliki pengaruh terhadap kehidupan mereka (contoh: kebijakan nasional di bidang perdagangan) tetapi diarahkan untuk (a) menggali potensi yang tersedia dan masalah yang dihadapi masyarakat setempat; (b) mempelajari alternatif pemecahan masalah; (c) merancang model AIP yang akan dikembangkan secara bersama-sama, dengan memperhatikan rambu-rambu pelaksanaan program yang berlaku.
5.
Mengoptimalkan hasil dalam pengertian (a) jenis informasi yang dikumpulkan disesuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan program; (b) kedalaman informasi yang dibutuhkan dirumuskan secara jelas; dan (c) penggalian informasi dimulai dari yang telah diketahui, misalnya dari data sekunder, hingga informasi yang tidak diketahui, sehingga terjadi penggalian informasi secara luas, mendalam dan akurat.
6.
Santai dan informal dalam pengertian (a) diselenggarakan dalam suasana yang luwes, terbuka dan tidak formal; (b) memperhatikan jadwal kegiatan masyarakat setempat; dan (c) pihak luar atau tim PRA harus mampu berinteraksi secara akrab dan memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat setempat.
7.
Prinsip demokratis dalam pengertian (a) setiap anggota masyarakat mempunyai hak yang sama untuk menyampaikan pendapatnya dan (b) dalam setiap pembahasan, masing-masing anggota masyarakat harus diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya atau menyampaikan ide-idenya.

2.2. Informasi yang Dikumpulkan dan Pemanfaatannya

Pelaksanaan PRA pada dasarnya ditujukan untuk mengidentifikasi jenis-jenis inovasi teknis dan inovasi kelembagaan agribisnis yang perlu dilaksanakan di lokasi kegiatan Prima Tani, sesuai dengan potensi sumber daya yang tersedia dan permasalahan yang dihadapi praktisi agribisnis terutama petani. Inovasi yang dimaksud dapat meliputi beberapa bidang yaitu: (1) Bidang produksi, pengadaan sarana produksi, penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran komoditas terpilih yang akan dikembangkan; (2) Bidang pemanfaatan limbah pertanian untuk pembuatan pupuk organik dan pakan ternak; (3) Bidang pemanfaatan sumber daya lahan air secara optimal; dan (4) Bidang konservasi tanah dan air.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas terdapat beberapa informasi yang harus digali bersama oleh Tim PRA dan praktisi agribisnis. Informasi tersebut dikumpulkan dari data potensi desa tahun 2004 (Lampiran 1) dan diskusi kelompok dengan praktisi agribisnis pedesaan yang dipandu dengan menggunakan daftar pertanyaan atau kuesioner PRA (Lampiran 2). Rincian informasi yang dibutuhkan dan pemanfaatannya diperlihatkan dalam Tabel 1. Secara ringkas informasi yang dibutuhkan dan tujuan pemanfaatannya dapat diuraikan sebagai berikut:
(1)
Jenis tanaman dan ternak yang diusahakan petani beserta peranannya terhadap pendapatan rumah tangga petani, potensi pasar, pemanfaatan limbah yang dihasilkan, dan kesesuaian agroklimat. Informasi dapat dimanfaatkan untuk memilih komoditas pertanian yang menjadi fokus kegiatan Prima Tani.
(2)
Potensi sumber daya lahan, air, manusia, dan infrastruktur menurut blok hamparan lahan. Informasi ini diperlukan untuk memilih lokasi sasaran yang paling potensial untuk kegiatan inovasi yang akan dikembangkan.
(3)
Kinerja teknologi dan kinerja hasil kegiatan agribisinis di bidang usaha tani/produksi, input usaha tani, pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil. Informasi tersebut diperlukan untuk mengkaji peluang inovasi teknis, yang dapat dilakukan dengan membandingkan kinerja teknologi yang dilakukan praktisi agribisnis dengan kinerja teknologi matang yang dimiliki Badan Litbang Pertanian.
(4)
Kinerja kelembagaan agribisnis dalam rangka mengkaji peluang inovasi kelembagaan. Kelembagaan agribisnis yang dimaksud meliputi seluruh elemen lembaga agribisnis mulai dari pengadaan sarana/input usaha tani hingga pemasaran hasil, dan lembaga pendukung agribisnis.
(5)
Masalah teknis dan kelembagaan agribisnis yang dihadapi oleh praktisi agribisnis terutama petani. Berdasarkan informasi tersebut dapat diidentifikasi jenis-jenis inovasi yang dibutuhkan dalam rangka pengembangan agribisnis di desa lokasi Prima Tani.
Selengkapnya baca di http://primatani.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=blogcategory&id=22&Itemid=41

2010 Kalsel Hujan Sepanjang Tahun


Banjarmasin (ANTARA News) - Kalimantan Selatan akan menikmati musim hujan yang panjang pada 2010 dan Stasiun Klimatologi memperkirakan musim hujan di provinsi itu akan terjadi sepanjang tahun.

"Kalsel bakal masuk pada musim kemarau basah, artinya curah hujan bakal terjadi sepanjang tahun kecuali pada Agustus atau September yang akan menjadi puncak kemarau," kata Kepala Stasiun Klimatologo Banjarbaru, Kalsel, Sucantika di Banjarmasin, Selasa.

Musim hujan yang panjang itu, menurut Sucantika, karena sepanjang 2010 tidak ada elnino, sehingga kendati memasuki musim kemarau, hujan akan tetap turun dengan intensitas antara 40-50 milimeter perdasarian atau setiap 10 hari sekali.

Dengan demikian, kata dia, musim kemarau pada 2010 ini hanya akan terjadi antara satu atau dua bulan saja, sisanya adalah musim kemarau basah.

Bahkan, tambah dia, bila puncak kemarau terjadi pada September, diperkirakan Agustus juga masih terjadi hujan, begitu juga sebaliknya bila Agustus puncak kemarau, maka September kembali terjadi hujan.

Sementara itu, pada Juni atau Juli yang di beberapa daerah Jawa dan lainnya mulai memasuki musim kemarau, di Kalsel terutama Kalsel bagian timur curah hujan masih banyak.

Hal itu dipengaruhi karena masih adanya hembusan angin dari arah Tenggara Australia yang membawa uap air sehingga menimbulkan hujan.

Pada saat itu, daerah-daerah di bagian Timur Kalsel mulai dari Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kotabaru harus waspada.

"Mungkin intensitas hujan pada Juni atau Juli tersebut tidak sebesar pada Januari ini, namun curah hujannya masih tergolong banyak," katanya.

Selain itu, angin puting beliung dan petir juga harus tetap diwaspadai hingga bulan tersebut, karena angin colomonimbus intensitasnya juga masih cukup besar.

Tentang banjir, kata Sucantikan, bukan kewenangannya untuk memberikan keterangan, karena pihaknya hanya memantau masalah perubahan cuaca di Kalsel.

"Kita hanya memberikan informasi tentang masalah cuaca saja, kalau masalah banjir bukan wewenang saya, yang pasti hujan bakal terjadi sepanjang 2010," katanya.

Rabu, 10 Maret 2010

Kearifan lokal di lahan rawa pasang surut

sebuah tulisan yang menarik...

http://salam.leisa.info/index.php?url=getblob.php&o_id=236554&a_id=211&a_seq=0

PADI LOKAL TANPA PUPUK HASIL 8 TON !!

Petani di Kalimantan Selatan (suku Banjar, selanjutnya disebut sebagai petani Banjar) mempunyai cara yang unik untuk mengatasi kendala menanam padi di lahan pasang surut yang tidak subur. Mereka mempunyai jenis padi lokal dengan teknik budidaya yang menganut sistem pertanian lestari dengan masukan rendah (low input sustainable agriculture/LISA) atau bahkan tanpa pupuk. Petani Banjar telah melaksanakan teknik ini sejak lebih dari 100 tahun yang lalu.

Sejak tahun 1999, Center for Tropical Acid Soils Studies bekerja sama dengan Universitas Hokkaido, Jepang, mempelajari padi lokal yang ditanam oleh petani Banjar secara intensif. Tulisan ini menampilkan hasil penelitian yang didapat sampai saat ini.

Petani Banjar mempunyai ratusan jenis padi lokal. Kami menemukan sebagian jenis padi lokal yang berdaya hasil di atas 3 ton/ha. Hasil padi ini diperoleh tanpa pupuk setelah tanam. Kalaupun ada penggunaan pupuk, hal ini dilakukan pada saat perbanyakan bibit dengan takaran yang kecil yang bisa diabaikan (20 kg urea/ha).

Pada tahun 2003-2004 kami mengadakan survei hasil padi lokal yang berdaya hasil ekstrem tinggi (di atas 6 ton/ha, tanpa pupuk). Padi ini ditemukan pertama kali pada tahun 1999. Oleh penemunya diberi nama Padi Panjang.

Pada tahun 2003, ada 25 petani yang menanam varietas Padi Panjang di lahan mereka. Kami memilih 10 petani dan petani penemu padi panjang untuk memantau keragaman hasil padi dan mempelajari apakah ada hubungan antara hasil dan sifat kimia tanah. Kami juga melakukan penelitian di rumah kaca dan di laboratorium untuk mempelajari mekanisme penyediaan unsur hara untuk padi lokal.

Keragaman hasil, perbandingan dengan padi lokal lain, dan panjang malai padi panjang dapat dilihat berturut-turut pada Gambar 1 dan 2. Kisaran hasil padi panjang adalah 3,21-8,09 ton/ha.

Dibandingkan dengan padi lokal lainnya (Gambar 1), hasil Padi Panjang lebih besar dari padi lokal di lokasi yang sama. Lebih jauh, malai Padi Panjang hampir 2 kali lipat (50 cm) padi lokal lainnya (Gambar 2).

Hubungan hasil padi panjang dengan sifat kimia sungguh di luar dugaan. Keragaman hasil padi panjang tidak berhubungan dengan keragaman sifat kimia tanah seperti pH, kandungan N dan P, daya antarlistrik atau dengan kandungan bahan organik (Purnomo et al 2004).

Dari hasil penelitian di rumah kaca (Hasegawa et al 2004a) ditemukan bahwa penambahan pupuk N tidak meningkatkan hasil dan bahkan menurunkan berat akar tanaman padi lokal. Pada penelitian yang lain Hasegawa et al (2004b) memperlihatkan bahwa peningkatan pH tanah menyebabkan turunnya hasil padi lokal.

Hal ini mengindikasikan bahwa padi lokal tidak memerlukan pupuk. Dalam kenyataannya, petani umumnya tidak memupuk setelah tanam.

Fungsi Rhizosphere

Hasil-hasil penelitian kami terkini menunjukkan adanya fungsi akar (rhizosphere function) dalam mendukung pertumbuhan padi lokal di tanah marjinal tanpa pupuk.

Gambar 3 menunjukkan panjang akar, volume akar, dan berat kering akar padi panjang dan IR64. Akar padi panjang terlihat jauh lebih besar daripada IR64. Akar padi yang besar dan panjang akan memberikan peluang yang lebih besar dalam mengakses hara dan dalam memengaruhi sifat kimia dan biologi tanah dekat dengan akar (rhizosphere).

Gambar 4 menunjukkan bahwa pH tanah rhizosphere lebih tinggi daripada tanah di luar rhizosphere. Tingginya pH di tanah rhizosphere disebabkan oleh tingginya pH di rhizoplane (permukaan akar, Hashidoko et al 2005). Lebih tingginya pH rhizoplane padi lokal dibandingkan dengan pH tanah disebabkan oleh proses mineralisasi bakteri penambat yang telah mati.

Hashidoko et al (2004) menemukan spingomonas sp yang hidup di tubuh akar tanaman (endophyte). Bakteri ini mampu menambat N dari udara yang lewat di jaringan rongga udara tanaman padi (aeranchyma).

Lebih jauh, Purnomo et al (2005) menemukan adanya bakteri pelarut P yang hidup di rhizoplane padi lokal. Burkholderia sp merupakan bakteri umum yang dijumpai di rhizoplane padi lokal. Bakteri ini lebih dikenal sebagai bakteri penambat N (Kirchhof et al. 1997; Kennedy et al. 2004). Ini adalah laporan ilmiah pertama yang menunjukkan bahwa Burkholderia sp adalah bakteri yang berfungsi ganda yaitu penambat N dan pelarut P.

Kesimpulan dan implikasi

Tidak semua varietas padi lokal mempunyai hasil rendah. Tanpa pupuk, ada beberapa varietas padi lokal yang berdaya hasil 3 ton/ha, bahkan ada yang berdaya hasil 5 ton/ha dan 8 ton/ha. Hasil tidak didukung oleh kondisi tanah yang baik. Tetapi hasil yang tinggi ini didukung oleh (1) teknik budidaya padi petani Banjar menganut sistem LISA dan (2) adanya fungsi akar dalam memperbaiki lingkungan tumbuh tanaman dan adanya mikroorganisme yang mampu menambat N dan melarutkan P padat.

Adanya varietas padi lokal berdaya hasil ekstrem tinggi tanpa pupuk akan mengurangi rasa khawatir tentang ancaman kekurangan beras jika harga pupuk yang akan naik. Lebih jauh dengan ditemukannya mikroorganisme penambat N dan pelarut P yang mendukung padi lokal berdaya hasil ekstrem membuka peluang pembuatan pupuk biologi mengurangi penggunaan pupuk buatan atau memanfaatkan kembali residu pupuk yang tidak dapat diambil tanaman.

Oleh DR.Erry Purnomo Dari Hasil Penelitian Bersama

APA ITU SAWIT DUPA?

Sawit Dupa (satu kali mewiwit dua kali panen) adalah sistem usahatani padi dengan Indeks Pertanaman (IP) 180% yaitu penanam padi varietas unggul pada saat petaksanaan ampak/lacak padi varietas lokal.

Jadi 20% Iuas lahan dipakai untuk ampak/lacak padi lokal, 80% lahan ditanami padi varietas unggul dimusim hujan. Pada buian Pebruari-Maret padi varietas unggul panen dilanjutkan penanaman padi varietas lokal seluruh lahan (100%) pada bulan Maret-April, total pertanaman padi menjadi 180%. Sistem Sawit Dupa ini merupakan teknologi antara di lokasi sentra padi lokal untuk menuju ke IP 200%.

Total Iuas pertanaman padi lokal di Kalimantan Selatan rata-rata 50% dari Iuas pertanaman padi. Sentra pertanaman padi sawah lokal ada di Kabupaten Barito Kuala, Banjar dan Tanah Laut pada areal pasang surut dan sebagian di lahan lebak dan tadah hujan. Dalam upaya peningkatan produksi di wilayah sentra padi sawah lokal, maka teknologi SAWIT DUPA menjadi pilihan.

Keuntungan pengembangan Sawit Dupa bagi petani adalah terjadinya peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan petani diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga tani.

Potensi lahan di Kalimantan Selatan masih cukup luas untuk dikembangkan, baik melalui Sawit Dupa maupun Optimalisasi penggunaan lahan lainnya.

Senin, 08 Maret 2010

RINCIAN BUTIR KEGIATAN JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN

Lihat :

http://www.deptan.go.id/pengumuman/berita/03-2008/permenpan%20penyuluh%20pertanian%202008/lamp-1-PP.htm

WERENG COKLAT ...AWASI TANAMAN ANDA

Salah satu hambatan dalam menaikkan produksi beras di Indonesia adalah serangan hama wereng coklat ( Nilaparvata Lugens). Wereng coklat secara langsung merusak tanaman padi karena nimfa dan imagonya mengisap cairan sel tanaman sehingga tanaman kering dan akhirnya mati. Kerusakan secara tidak langsung terjadi karena serangan penyakit virus kerdil rumput dan kerdil hampa yang ditularkannya. Kerusakan berat yang disebabkan oleh wereng coklat terkadang ditemukan pada persemaian, tetapi sebagian besar menyerang pada saat tanaman padi masak menjelang panen.
Hama Wereng coklat mampu menimbulkan kerusakan hebat pada tanaman padi bahkan dapat menyebabkan puso.

Bila tanaman padi muda terserang, menjadi berwarna kuning, pertumbuhan ter-hambat dan tanaman kerdil. Pada serangan yang parah keseluruhan tanaman menjadi putih, kering dan mati, perkembangan akar merana dan bagian bawah tanaman yang terserang menjadi terlapisi oleh jamur, yang berkembang pada sekresi embun madu serangga. Serangga hama wereng coklat di Indonesia telah diketahui sejak sebelum perang dunia ke-II dengan luas daerah serangan yang terbatas. Serangan hama wereng pertama kali dilaporkan pada tahun 1931, yaitu dengan merusak beberapa petak tanaman padi di daerah Darmaga, Bogor kemudian Mojokerto pada tahun 1939, di Yogyakarta pada tahun 1940. Sampai tahun 1951 luas areal yang terserang sekitar 50 - 150 Ha padi sawah permusim di Jawa. Serangan hebat mulai terdapat di Jawa sekitar tahun 1969 dan di Sumatera Utara sekitar tahun 1972. Pada sekitar tahun 1974 terjadi epidemi di Sumatera Utara, Jabar, Jateng dan Jatim. Dua tahun setelah itu serangan wereng coklat meliputi seluruh wilayah Indonesia kecuali Irian Jaya dan Maluku. Pada tahun 1976 - 1977 lebih dari 450.000 Ha sawah diserang wereng coklat dan kerugian yang disebabkannya mencapai 100 juta US $. Pada tahun 1987 beberapa ribu Ha pertanaman padi di D. I. Yogyakarta dan Jateng terserang berat wereng coklat. Varietas utama yang banyak terserang adalah Cisadane. Wereng coklat ini agak berbeda dengan wereng coklat biotipe 1, 2, 3, 4 dan SU. Masalah wereng coklat ini bertambah kompleks dengan munculnya biotipe-biotipe baru. Hal ini disebabkan oleh kemampuan wereng coklat yang sangat tinggi untuk beradaptasi terhadap per-ubahan lingkungan. Siklus hidup wereng coklat yang pendek ( hanya 21- 30 hari dari stadia telur sampai dewasa), kemampuan berreproduksi yang tinggi ( di alam, seekor wereng betina mampu bertelur 100-600 butir semasa hidupnya), dan sifatnya yang hanya memakan padi, mendorong munculnya biotipe baru yang bisa mematahkan resistensi padi yang semula dianggap tahan. Hal ini terutama bila varietas tahan itu ketahanannya hanya terdiri dari satu gen dan ditanam monokultur terus-menerus.

PERUBAHAN BIOTIPE

Perubahan biotipe wereng coklat ini sebenarnya terjadi melalui seleksi alam. Dalam pertanaman padi yang intensif, penggunaan insektisida yang tidak tepat mematikan musuh alami tapi tidak mematikan telur dan nimfa wereng secara keseluruhan. Wereng yang selamat merupakan wereng yang secara genetik memang terseleksi dari lingkungan yang tidak menguntungkan. Hal ini mungkin terjadi karena populasi wereng coklat yang tinggi menyebabkan ke-ragaman genetik yang berbeda. Intensifikasi dengan varietas lokal yang unggul, memunculkan biotipe I yang dapat memusokan sawah. Kemudian diperkenalkan IR 26, dengan gen resistensi Bph 1 ( Bph = Brown Plant Hopper ), tapi kemudian muncul biotipe 2 . Selanjutnya dikenalkan IR 36 dengan gen resisten Bph 2 yang semula resisten terhadap biotipe 2 ternyata bisa dipatahkan dengan muculnya biotipe 3 yang latent. Lalu diper-kenalkan IR 56 dengan gen resisten Bph 3, tetapi kembali pertanaman yang monokultur dan terus-menerus meng-akibatkan gen resisten Bph 3 patah kembali. Kemudian diperkenalkan IR 64 dengan gen resistens Bph 4 yang tahan terhadap serangan wereng coklat biotipe 3 sampai sekarang.

PENCEGAHAN

Tindakan pencegahan yang hanya mengandalkan sepenuhnya pada pengendalian wereng pada penanaman varietas tahan saja, ternyata tidak mencegah eksplosi serangan. Harus diikuti tindakan lain, seperti pergiliran antar varietas dan antar tanaman. Sedangkan peng-gunaan insektisida, hanya dibatasi pada saat diperlukan, tapi bukan untuk pencegahan. Varietas padi yang tahan saat ini baru mampu dibuat dari satu gen resisten saja. Memang resistensinya sangat tinggi terhadap serangan wereng, tetapi tidak bisa bertahan lama karena sifat wereng yang hanya makan padi dengan keraganan genetik yang tinggi. Sampai saat ini sudah empat gen resisten wereng coklat yang ditemukan yaitu Bph 1, Bph 2, Bph 3 dan Bph 4. Waktu pengaturan tanam yang serempak merupakan prioritas pertama pengendalian wereng, karena secara efektif menekan populasi wereng melalui pemutusan rantai makan. Wereng coklat yang bermigrasi ( yang bersayap panjang ), biasanya mencari tanaman muda didekatnya bila tanaman padi di tempat asal mendekati pembungaan. Penggunaan insektisida hanya digunakan bila jumlah wereng melewati ambang ekonomis per rumpunnya. Penyemprotan pun tidak bisa dilakukan pukul rata pada semua areal yang luas ( Blanket spray ), tetapi per lokasi serangan. Hal ini selain dapat mencegah matinya musuh alami yang sebenarnya cukup efektif memangsa wereng coklat, tetapi juga mencegah munculnya resurjensi dan resistensi wereng coklat tersebut. Pada Blanket spray, musuh alami mati tapi telur dan nimfa wereng tidak mati, lalu mereka tumbuh subur karena tidak ada saingannya. Pada pen-yemprotan per lokasi, wereng di lokasi penyemprotan saja yang mati dan apabila cara penyemprotannya benar, telur dan nimfanya pun akan mati, sehingga kemungkinan resistensi yang menjurus timbulnya biotipe baru, bisa dicegah. Hal ini karena wereng di luar lokasi penyemprotan berinteraksi melalui per-kawinan dengan wereng di lokasi penyemprotan sehingga resistensi wereng coklat tersebut terhadap insektisida dan varietas padi yang ditanam tetap rendah. Penggunaan pestisida selalu membawa empat resiko yakni resistensi terhadap hama dan penyakit, munculnya hama dan penyakit baru akibat matinya musuh alami, resurjensi ( hama penyakit tersebut makin meningkat populasinya, juga disebabkan oleh matinya musuh alami akibat pestisida yang disemprotkan ) dan keracunan lingkungan. Setelah sekitar lima puluh tahun pestisida diperkenalkan, kini ditemukan pestisida generasi ketiga yang cara kerjanya tidak langsung mematikan serangga, tetapi merusak atau mengganggu proses fisiologis serangga. Salah satunya adalah buprofezin, yang dihasilkan Jepang, Mampu menahan telur wereng menetas dan nimfanya berganti kulit. Karena tidak bisa berganti kulit, padahal nimfa ini perlu bertambah besar untuk menjadi dewasa, maka nimfa tersebut akan mati. Namun demikian pestisida ini mempunyai kendala utama yakni saat pemberiannya yang harus tepat. Hal ini berhubungan dengan periode migrasi wereng dewasa bersayap panjang (makro-ptera) pada awal pem-bentukan anakan. Setelah menetap, wereng coklat mulai berkembang biak satu atau dua generasi pada tanaman padi stadia vegetataif, tergantung saat migrasinya jika terjadi 2-3 Minggu Setelah Tanam ( MST ), imigran berkembang biak dua generasi. Puncak populasi nimfa generasi pertama dan ke dua berturut-turut muncul pada umur padi 5-6 MST dan 10-11 MST. Bila imigrasi terjadi setelah padi umur 5-6 MST, puncak populasi nimfa hanya satu kali, yaitu 9-10 MST. Serangga dewasa yang muncul setelah padi berumur 7 MST, umumnya bersayap pendek (brak-hiptera) yang tidak dapat bermigrasi dan bertelur ditempat asal. Setelah itu, akibat tekanan populasi, yang muncul adalah makroptera yang jumlahnya meningkat saat tanaman memasuki stadium pembungaan. Makroptera inilah yang bermigrasi mencari tanaman padi muda baru di dalam jangkauannya. In-sektisida selain buprofezin, yaitu yang berbahan aktif karbonat digunakan pada saat padi berumur 8-11 MST. Di sinilah tampak pentingnya pengamat-an hama, untuk mendeteksi jumlah populasi wereng coklat dewasa